Feb 13, 2007

VALENTINE NIGHT


Sayang.....
Bolehkah malam ini kita tidak ke Mall
Kita tidak ke Bioskop
Kita tidak ke Pantai
Kita Tidak ke Club Malam

Saya ingin menghabiskan malam ini
Denganmu.....
Membincang tentang MARX

LELAKI YANG MENUNGGU




"Masri tidak akan datang, dia sudah di perantauan"

Ibu muda itu terperanjat dari lamunannya setelah mendengar seruku. Dengan pandangan yang sedikit merupa wajahku. Keningnya berkerut. Tapi tak lama setelah itu dia tersenyum lebar.

"Agus kan !?"

"Iya betul. Aku mengenalimu begitu cepat setelah lima tahun Masri tidak pernah mengajakku bertemu denganmu di pantai ini"

"Aku sudah menikah"

"Aku sudah tahu. Alasan itu mengapa Masri tidak pernah lagi mengajakku bertemu denganmu"

"Anakku sudah dua"

"Itu juga sudah aku tahu. Sebab itu mengapa Masri mencari kebahagiaannya di perantauan"

"Masri sudah menikah ?"

"Dia sulit melupakannmu. Dua tahun dia menunggumu. Tapi kau sudah beranak dua kini. Apa kau bahagia?. Hatinya teriris pilu oleh pergimu. Di perantauan dia tetap sendiri"

Wanita itu sesekali menelan banyak ludahnya. Dia terdiam. Bola matanya gelisah seolah-olah nama Masri ingin dilupakannya. Tapi Masri kekasihnya dulu. Pernah mengikat janji bersamanya di pantai ini. Karena itu kabar Masri sangat ingin diketahuinya. Janji sangat sulit dilupakan meski sulit di buktikan. Aku adalah saksi janji itu. Ketika Masri menyodorkan kelingkinnya dan disambut kelingkin wanita itu. Bersamaan mereka berucap, "Tuhan, dengarkan debar hati kami. Kebahagiaan kami kini adalah lambang masa depan kami. Sumpah setia kami untuk hidup bersama". Mereka kemudian merayakannya. Berlarian kepinggir pantai dengan kelingkin yang masih saling mengait. Wanita itu terjatuh. Masri ikut terjatuh. Mereka bergulingan di pasir. Tertawa. Gembira. Aku ikut merasakannya.
"Kenapa dia tidak mencari wanita lain ?"
"Itu sudah aku usulkan. Tapi dia sangat menginginkanmu. Kau adalah tekad keputusannya"

Wanita itu kembali terdiam sembari memungut kerikil kecil di pasir. Begitu cermat dia memilih kerikil kecil kemudian melemparkannya ke setiap ombak kecil yang menyentuh ujung jari kakinya. Ketika Masri masih kekasihnya, wanita itu sering meminta Masri untuk mengumpulkan kerikil kecil. Masri kemudian berlari-lari kecil menjauh, tak lama dia datang dengan kantong celana dan bajunya penuh kerikil kecil. Wanita itu tersenyum bahagia melihat pengorbanan Masri pada wanita yang dicintainya.

"Tidak mungkin aku kembali dengannya. Aku bahagia kini. Andra mencintaiku dan mencantai anak-anaknya yang aku lahirkan" Andra nama suaminya. Kawan karib kami juga. Dia begitu hebat menyembunyikan perasaannya kepada wanita itu di depan Masri dan mencari celah untuk merebut simpati.
"Kau tidak bahagia!"
"Apa tahumu tentangku?"
"Wajahmu lesi. Rambutmu menjadi sepucat abu. Kegetiran hidup mengubah matamu menjadi tanpa gairah. Tinggal cekungan hitam yang hampir padam"
"Kau salah. Andra memberikan banyak kebahagiaan padaku"
"Kau berbohong. Kenapa kau sendiri dipantai ini?"
"Andra seorang pekerja keras. Hari ini begitu banyak kontraknya. Hasilnya untuk membahagiakan saya dan anak-anaknya. Hidup bersamanya jauh lebih bahagia daripada bersama Masri"
"Kenapa kau berkata seperti itu. Bukankah Masri sangat mencintaimu?"
"Kata cinta tidak cukup membahagiakanku. Masri pemalas. Dia tidak bekerja. Orangtuaku tidak menginginkannya. Saya tidak ingin mengecewakan orangtuaku oleh pilihanku"

Aku terdiam. Wanita itu diam. Masri memang tidak pernah mendapatkan kerja. Tapi bukan pemalas. Hanya pekerjaan yang selalu menghindarinya karena dia terlalu banyak tuntutan. Upah naik, jaminan keselamatan kerja, asuransi jiwa, dll. Terkadang pula dia mengorganisir karyawan lain untuk menuntut seperti apa yang dituntutnya. Satu kali dia bekerja di pabrik susu milik cina, tak lama dia disana karena dituduh memprovokasi karyawan lain untuk mogok kerja. Dia dikeluarkan tanpa uang pesangon. Satu kali lagi dia bekerja di pabrik batu bata milik haji, tak lama juga dia disana karena kasus yang sama.
"Apa dia masih seperti yang dulu ?" Wanita membuka pembicaraan dengan suara tenang seperti malam, tetapi sekaligus dalam laksana dasar sumur.
"Tidak ada yang dipikirkannya selain dirimu. Dia ingin bekerja untuk dirimu dan anak-anak yang kau lahirkan. Seperti halnya yang dilakukan Andra"
"Aku bimbang hidup dengannya. Kebimbangan dalam cinta adalah dosa. Karena itu aku memilih sesuatu yang pasti. Andra telah memberiku segalanya. Masri hanya memiliki harapan, tapi tak pasti. Aku bosan dengan ketidakpastian".
"Kau materialis ?"
"Wanita mana yang tidak ingin dimanja dengan materi ?"
"Aku tidak percaya jika itu ucapanmu. Andra telah membutakanmu tentang makna cinta. Darinya lidahmu menjadi tak berasa untuk cinta. Hanya rasa pedih yang tak terpikirkan yang telah melepas hunjamkan paku lidahmu, dan dia dapat menyembunyikan penderitaanmu yang sangat parah itu dengan materi. Harapan Masri sekarang sebisu rahasia dalam hatinya. Dia tidak banyak berbuat kecuali kau disampingnya. Di perantauan dia tetap sendiri dan tidak bekerja. Baginya bekerja sebagai bentuk tanggungjawab. Tapi untuk siapa dia bekerja ?. Kesendiriannya tidak memerlukan kerja kecuali kau disampingnya. Menemaninya dalam setiap letihnya. Merindukan senyummu untuk tak berlama-lama di tempat kerja. Menghangatkan tubuhnya dalam pelukanmu disaat matahari siang begitu panas di tempat kerja".
"Tapi aku tidak mungkin kembali kepadanya. Aku sudah terlanjur cinta pada Andra dan anak-anaknya yang aku lahirkan ".
"Aku tidak memaksamu. Begitupula Masri. Aku hanya ingin memberitakanmu tentang sahabatku yang cerita hidupnya sudah kalah diperantauan. Sebulan setelah keberangkatannya, malam begitu bibir dan lidahnya pedih kekeringan. Dia mengirim surat untukmu. Aku belum membacanya, meski lama aku simpan". Aku menyodorkan sepucut surat yang terlipat rapi. Wanita itu menyambut dengan tangan yang gemetar dan penuh ragu. Dia membukanya dengan perlahan dan membacanya dengan suara yang tersembunyi dibalik debar jantung yang sangat cepat.


Dear Nun,
Banyak yang telah aku pelajari darimu. Tentang makna cinta, tentang pengorbanan, dan yang lebih penting tentang wanitamu yang begitu merayu imaginasiku.

Nun, aku tidak begitu sedih dengan kepergianmu. Tapi aku juga tidak menyesali pertemuan kita. Engkau wanita yang berhak memilih yang terbaik untuk hidupmu dan anak-anakmu kini. Meski aku sangat ingin membuktikan kekuatan cintaku padamu. Tapi aku terlalu lama menyembunyikannya sehingga kau ragu untuk menerimanya.

Nun, sekarang saya diperantauan. Tapi tidak aku dapatkan senyum seindah yang kau miliki. Aku masih sendiri kini karena tidak aku temukan penggantimu yang bisa aku curahkan segenap rahasia cinta dan derita laraku.

Nun, yang kau tuntut dariku dulu masih belum aku dapatkan. Pekerjaan selalu tidak bersahabat denganku. Tapi sekarang aku sudah putuskan untuk tidak bekerja karena aku ingin bekerja untumu saja. Orang-orang disekelilingku mengataiku sampah masyarakat. Aku tidak tersinggung, karena itu adalah norma masyarakat yang berlaku kini.

Nun, setelah aku menulis surat ini, aku punya dua pilihan : Hidup tanpa cintamu atau mengakhiri hidup


Wanita itu tertegun setelah membaca surat Masri. Ditengadahkannya mata yang penuh tanya kearah sorga dan mencoba menahan lelehnya air mata. Matanya nanar, menembus pandang pada yang tak tampak. dan raut wajahnya berubah, seolah dia telah menangkap sekaligus pengertian dari Tuhan yang penuh rahasia. Dibenahinya dirinya yang terasa remuk-redam. Bibirnya sedikit ternganga. Mirip sebuah luka terbuka dalam kalbunya dan pedih menggema ke udara sekeliling. Bibirnya gemetar seolah ingin mengucapkan sebuah perkataan keramat. Hatinya menjadi pilu oleh kesedihan yang teramat sangat, tatapi akhirnya dapat membuka bibirnya dan berkata :

"Ba....bagaimana keadaannya sekarang ?" Akhirnya suara hisak itu terdengar. Tertahan sebentar di tenggorokan menunggui air mata mengalir dipipinya yang kini sudah menulang.
"Kemarin dia dikebumikan" Kilahku kemudian berdiri dan pergi.

Wanita itu tetap terduduk dipasir. Hisaknya semakin terdengar keras seiring langkahku menjauh darinya. Kedua tangannya mencakar pasir, kemudian menggenggamnya begitu erat. Aku tidak peduli dengan kondisinya saat itu. Terus saja aku melangkah. Menjauh hingga tak tampak oleh matanya.

Malam ini Asyu'ra


Tangis.....
Menangisi sejarah


Duka.....
Pada masa lalu


Merekam
Risalah para nabi


Meresap
Pesan Imam Husain


Memengkis
Lakon Muawwiyah-nist


Ahlul Bayt oh Ahlul Bayt


Bahana tepukan ke jasad
Menjiwai kepahlawanan


Sementara udin kelaparan
Nila di pelukan germo
Karim mulai miring narkoba


Apakah mereka lupa malam ini Asyura ?




29 Januari 2007

Feb 12, 2007

KONSPIRASI

(cerepen ini dititip kawan wali untuk semua)


Dilantai teratas gedung ini angin berhembus agak kencang membawa hawa dingin. Sejenak kulirik jam di ponselku dan kulihat jam telah menunjukkan pukul 24.00 dan itu telah tiba saatnya bagiku untuk melakukan rencanaku. Dimenit-menit terakhir akan aku laksanakannya rencanaku, pikiranku berjalan mundur kemasa silam hingga kemasa kanak-kanakku. Entah mengapa di menit-menit terakhir ini gambaran masa kanak-kanakku bahkan ingatanku akan kejadian-kejadian diusia balitaku tergambar dengan jelas.
Teringat olehku kehidupanku diusia balita. Tergambar dengan jelas, orang tuaku ketika itu hanya menjadikan aku sebagai penghibur. Walau agak sedikit berbeda dari badut atau binatang piaraan namun substansinya tetap sama. Aku dilarang menangis, mereka marah ketika aku menangis karena tangisku tak membuat mereka bahagia malah lengkikan polos tangisan seorang bayi membuat mereka pusing. Akhirnya aku paham bahwa tangisanku hanya membuat susah orang tuaku lalu kuyakini bahwa tangisan adalah sesuatu yang terlarang. Aku tak menangis lagi ketika mereka mencubitku karena rasa gemas mereka melihat seorang bayi yang seperti boneka dimata mereka. Itulah pelajaran pertama yang aku terima ketika masih balita. Belum selesai ingatanku akan masa balitaku tiba-tiba khalayanku berada pada masa ketika aku pertama kali menginjakkan kakiku ditempat yang diberi nama sekolah. Terbayang kejadian dirumah ketika pertama kali aku pulang sekolah. Ibu menanyakan tentang sesuatu yang sangat terkesan yang kulakukan disekolah pada hari pertama aku bersekolah. Lalu aku menceritakan pada ibuku tentang ibu guru yang marah padaku karena melaporkan bahwa aku telah diejek dan dipukul oleh kakak kelasku. Ibuku keheranan lalu bertanya kenapa ibu guru sampai marah. Akupun menceritakan kejadian selengkapnya bahwa setelah aku diejek lalu dipukul oleh kakak kelas aku lalu melaporkan hal tersebut pada ibu guru namun ibu guru marah dan berkata bahwa kau pasti berbohong sebab jika kau betul-betul telah diejek dan dipukul kau tentu akan melaporkannya sambil menangis. Ibu gurupun kemudian menasehatiku untuk tidak berbohong. Aku tetap ngotot dan akhirnya ibu guru memarahiku dan menyuruhku kembali kekelas karena jam istirahat telah usai. Ibuku lalu tertawa mendengar ceritaku dan diapun berkata “dasar anak-anak tidak tahu cara menyampaikan berita” tawanyapun semakin kencang dan diakhir tawanya dia menyuruhku untuk segera ganti baju dan pergi makan lalu tidur siang. Ketika itu aku heran dengan apa yang telah disampaikan ibu guru dan ibuku. Bukankah aku tidak boleh jujur jika itu membuat susah orang, seperti ajaran ketika aku bayi dulu dimana aku tidak boleh menangis padahal tangisanku adalah ungkapan kejujuran akan kondisiku karena saat itu aku belum mampu berbicara. akupun kemudian menerima kata-kata terakhir ibuku ketika itu lalu kuyakini sebagai sebuah kebenaran. Hari-hari selanjutnya aku tak pernah lagi mengatakan apa yang terjadi padaku karena aku takut aku salah dalam mengungkapkannya.
Khayalanku terus melaju dengan cepat melintasi setiap momen-momen dalam hidupku namun cuman khayalan-khalayan tertentu yang tergambar dengan jelas.
Khayalanku sampai pada saat ketika aku pertama kali senang pada lawan jenisku, aku duduk dikelas 3 SMP saat itu dan aku belum tahu apakah itu cinta atau sekedar rasa suka pada sesuatu yang berbeda. Sesuatu perasaan yang baru kurasa saat itu membuat beribu-ribu pertanyaan dalam otakku namun aku tak tahu harus bertanya dan mengungkapkannya pada siapa. Belum sempat aku mengungkapkannya pada seseorang, orang tuaku keburu tahu akan keadaanku. Katanya dia tahu dari perubahan tingkah lakuku dan merekapun sering menertawaiku dan secara tidak langsung mengejekku. Mereka sama sekali tidak memberikan penjelasan padaku tentang kondisi, yang mereka berikan justru tekanan batin. Aku lalu berpikir, apakah menyenangi sesuatu yang berbeda itu salah ? karena tak pernah menemukan jawabannya maka akhirnya akupun menerima semua itu. Lalu terbayang seluruh kejadian-kejadian selanjutnya akibat dari penerimaanku atas pernyataan bahwa menyenangi sesuatu yang berbeda itu adalah salah. Kejadian-kejadian terus melintas dalam pikiranku hingga pada kejadian ketika aku menjadi seorang mahasiswa. Pikiranku terus melesat hingga kemasa penyelesaian study-ku. Tergambar dengan jelas ketika orang tuaku yang katanya memotivasiku untuk sesegera menyelesaikan study-ku. Mereka sering berkata “segeralah selesaikan study-mu tak usah kau pikirkan dimana akan kerja jika telah selesai nanti, itu urusan nanti dan terserah pada kamu mau kerja dimana” pernyataan itu memang membuatku termotivasi namun di saat-saat terakhir aku menyelesaikan study, pertanyaan yang cenderung bersifat mengarahkan dan mendesak pun mulai muncul. Mereka mulai sering berkata “kita harus mulai mempersiapkan jalan agar kau dapat kerja di perusahaan tempat ayahmu bekerja”. Sebenarnya aku mulai marah ketika itu namun kepatuhan yang diajarkan padaku sedari kecil dan keharusan untuk membuat bahagia orang tuaku membuatku harus meredam rasa marahku. Ketika kyahalanku menggambarkan kondisi saat itu, jantungku tiba-tiba memompa darah dengan cepat keseluruh pembuluh-pemuluh darahku dan membuatku ingin marah, namun ketika terlintas gambaran dimasa-masa indah ketika kerja dikantor ayahku membuat kemarahanku menurun dan aliran darahkupun kembali normal. Teringat dengan jelas ketika itu aku telah mengikat janji dengan seorang wanita untuk bersama-sama menjalani kehidupan. Air mataku tiba-tiba menetes ketika gambaran hancurnya cita idealku akibat kehendak orang tuaku, tergambar dengan jelas. Mereka ingin aku menikah dengan seorang wanita pilihan mereka yang sama sekali jauh dari sosok ideal wanita dalam pikiranku. Khayalan ini membuatku sangat sedih. Khayalanku tiba-tiba loncat pada kejadian dimana aku mulai melanggar semua konsep-konsep yang aku yakini dan diajarkan padaku sedari kecil. Aku mulai malas masuk kantor yang membuat ayahku malu karena aku jauh berbeda dari dirinya, akupun telah menyukai segala yang berbeda. Jika orang tuaku menyukai sesuatu maka aku menyukai yang lain, jika ayahku senang pada sesuatu maka aku senang pada yang lain, jika ibuku bahagia akan sesuatu maka aku bahagia akan yang lain, yang jelas aku selalu mencoba menjadi yang lain dari mereka. Akupun mulai kembali menangis meski masih sembunyi-sembunyi.
Khayalanku akhirnya menggambarkan puncak dari semuanya dan penyebab keberadaanku disini saat ini. Khayalanku menggambarkan saat dimana aku mengungkapkan secara jujur segala kemuakanku pada orang tuaku yang berakhir dengan tangisanku yang polos seperti kepolosan tangisanku ketika aku bayi dulu. Setelah kejadian itu aku merasa bersalah karena telah membuat orang tuaku tak bahagia. Aku merasa telah melakukan dosa yang tak terampunkan, aku telah membuat aib bagi diriku dan keluargaku, aku telah membuat malu orang tuaku sebab punya seorang anak durhaka dan semua itu terjadi karena aku telah menjadi yang berbeda dari mereka. Karena didunia saat ini yang berbeda itu tak dapat diterima maka akulah akhirnya yang berada pada posisi salah.
Khayalanku tiba-tiba terhenti dan perlahan-lahan kusadari lagi keberadaanku dilantai teratas yang terbuka dari sebuah gedung. Aku lalu kembali mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenagaku untuk melaksanakan rencana terbesar dalam hidupku. Akhirnya kekuatan itupun muncul dan aku putuskan rencana terbesar dalam hidupku malam ini harus terlaksana. Aku harus mati malam ini ……………..……………………………………………………………………………………………………………..
……………..………………………………………………
Pagi-pagi sekitar pukul 06.30 orang-orang disekitar gedung kantor PT. TUAM LUTARKAS. Co gempar dan orang-orang berkumpul memperhatikan sebuah mayat yang ditemukan oleh seorang anak sekolah yang akan ke sekolah. Kepala mayat itu pecah sehingga wajahnya tak dapat dikenali, orang-orang menduga mayat tersebut jatuh dari lantai teratas gedung kantor.
Tepat ketika seorang polisi datang, ponsel mayat itu yang dislipkan dikantong celananya berbunyi. Polisi tersebut kemudian memberanikan diri mengambil dan memeriksa ponsel mayat itu. Ponsel itu rupanya menerima pesan singkat dari seseorang. Menurut polisi itu pesan singkatnya adalah “PULANGLAH ! AYAH DAN IBU AKAN MEMAAFKANMU ASALKAN KAU INGIN KEMBALI MENJADI SEORANG ANAK YANG PENURUT DAN SELALU MEMBAHAGIAKAN ORANG TUA”


Kehidupan hari ini tidak lebih dari sebuah peperangan. Peperangan yang harus dilakukan untuk bertahan hidup karena semua telah dirampas dari diri kita. Jangankan hak-hak yang menjadi syarat untuk interaksi sosial berjalan ideal semisal hak ekonomi, sosial, budaya dan politik, hak untuk bisa tetap bertahan hidup saja sangat susah untuk didapatkan. Setelah tanah yang menjadi simbol kehidupan bagi manusia dirampas, hak untuk mencari sesuap nasipun menjadi suatu hal yang sangat sulit. Perampasan tanah didesa untuk kepentingan segelintir orang-orang serakah dan penggusuran dikota dengan dalih keindahan menjadi suatu yang wajar dinegeri ini. Rakyat miskin yang kini menjadi mayoritas seakan tak layak hidup dinegeri ini.

Forum Kilo Empat


Disini kami menjadi karang

Enggan pecah oleh benturan kapak

Meskipun bentuk kami tak begitu menarik

Tapi kami memiliki cinta untuk sesama


Disini kami menjadi pedang

Tajam mengancam leher penguasa

Darahnya akan kami bagikan pada rakyat

Sebagai lambang kemenangan perang


Bersatulah kaum muda

Mengalir tanpa batas

Memecah kebuntuan zaman


Disini kami hadir untuk penguasa zalim

kami hadir untuk membebaskan rakyat tertindas


11 Februari 2007



Istriku Perempuan Syi'ah

Barangkali aku lupa
Dia adalah perempuan
Ingin mengajaknya bermain dadu politik
Memaksanya resahkan kehidupan
Kutunggangi dia dalam misiku

Barangkali aku lupa
Dia adalah Syiah
Meleburkan warnanya kedalam pelangi
Menciutkan nyali kesetiaannya pada Ahlul Bayt
Membiaskan pandangan dunianya

Barangkali aku lupa
Dan memang aku pelupa

Kalau begitu
Malam ini aku ingin melamarmu yang kedua kalinya
Merevisi kontrak nikah kita yang lalu
26 Januari 2007