Mar 29, 2007

KEMBALI KE DESA

Aku ingin bercerita dan mungkin anda akan bosan mendengarkannya. Aku tidak tahu apakah ini nyata atau hanya fiktif belaka. Duduklah sebentar saja dan lepaskan pikiran anda bahwa aku hanya seorang penghayal.

INGIN KEMBALI KE DESA
Anda bisa bayangkan sendiri. Petakan-petakan sawah di pagi hari. Padi-padi yang masih remaja memancarkan warnanya. Membangkitkan kegairahan untuk beraktivitas pagi. Sore harinya, angin yang menyelinap dari bebukitan kecil menyentuh di setiap pucuknya dan menuntunnya untuk menari seiring suara seruling gembala kecil di pundak kerbaunya. Suara desah air antara halus dan deras di kaki sungai. Sekali-sekali menggelombang kecil menandakan ada yang memainkan jernihnya. Sekelompok anak yang belum belasan tahun, meloncat dari ketinggian tiga meter. Mendarat sempurna di permukaan air. Sorak-sorai kegembiraan mereka. Semuanya lelaki. Telanjang dan setengah telanjang. Tidak ada anak perempuan yang berani mendekat. Dari beberapa meterlah bisa ditemukan beberapa anak perempuan bermain ditepinya. Mengumpulkan batu-batuan kecil nan cantik. Atau permainan peran dan masak-memasak.

Aku sendiri bisa bayangkan. Keasrian desaku kala musim padi. Hijaunya selalu menanti di pagi hari. Meski pakaian-pakaian kumuh para petani. Lalu-lalang. Membawa cangkul atau sabit. Warnanya tetap mendominasi. Memberikan arti kesuburan dan kesejahteraan selalu. Di beberapa petak sawah, padinya tampak mulai dewasa. Ketekunan penggarapnya selalu memanjakannya dengan pupuk jualan camat desa. Itu Pasti. Meski harga pupuknya sedikit mengimbangi harga sekolah lanjutan pertama anak-anak desa, tapi para petani tetap saja berusaha menjangkaunya.

Tidak ketinggalan, balai-balai kecil beratapkan daun kelapa disetiap petak sawah. Balai-balai itu dihuni satu atau dua orang pengawas. Maksud saya penjaga sawah. Jika ada burung pemakan biji mampir atau sekedar melintas, pengawas itu akan membunyikan serine yang terbuat dari kumpulan kaleng bekas. Kadang belum puas dengan bunyi serine, pengawas biasanya berteriak, "hus...hus...hus...". Burung pemakan biji akan mengerti dengan tanda itu dan segera terbang menjauh tapi untuk kembali kala pengawas itu lengah.

Aku juga bisa bayangkan betapa ramainya desaku di sore hari saat musim berganti menjadi kering. Sawah-sawah pada musim sebelumnya memancarkan hijaunya, selanjutnya hanya hamparan tanah berwarna coklat kehitam-hitaman. Namun tidak membuat para pemuda, remaja, dan anak-anak kehilangan gembiranya. Di setiap petaknya, pasti ada kelompok permainan yang disesuaikan dengan umur. Saat umurku remaja, kira-kira duabelas-limabelas tahunan, aku sering bermain bola dengan seusiaku. Sawah kering disebelah rumah Dg.Se're disulap menjadi lapangan sepakbola mini. Tidak ada tiang gawang, garis lapangan atau bunyi sumpritan wasit. Semuanya berhak menjadi wasit. Pertengkaran antar pemain sering terjadi karena masing-masing merasa benar.

Sore menjelang magrib. Aku juga bisa bayangkan. Sumur disebelah rumah tetuaku menjadi sangat ramai oleh gadis-gadis dari desa seberang. Pada musim kemarau, sumur-sumur mereka menjadi asin. Ini karena lokasinya sangat dekat dengan daerah penggaraman. Tetuaku tidak menolak kehadiran mereka di sumur itu, hanya menyarankan jika softeks bekas pakainya di buang ditempat sampah. Beberapa diantara mereka terdapat ibu-ibu yang masih muda. Tangannya aktif menggerakkan sikat baju sambil membincangkan sesuatu. Banyak hal yang mereka bincangkan. Mulai dari perilaku anak mereka dan membandingkan anak-anak seusianya, sampai masakan kegemaran suami-suami mereka. Mereka selesai dari aktivitasnya di sumur itu setelah saya yakin bahwa airnya tinggal satu meter dari dasarnya.

Pagi di hari minggu. Suara ringkikan kuda mulai ramai di pinggir sungai. Tepatnya ditanah lapang sepanjang satu kilo meter. Saatnya perlombaan. Tapi ilegal. Tidak ada sambutan dari pejabat setempat karena hanya untuk mengisi minggu pagi. Berkumpul kuda-kuda berkekuatan ekstra yang dituntun para pemiliknya. Para joki biasanya di pilih dari seusiaku. Aku tidak berani menawarkan diri untuk itu karena takut jatuh dan patah tulang. Alasan yang lebih memberatkan adalah tetuaku melarang menjadi joki. "Cukuplah menonton tapi jangan terlalu mendekat. nanti diseruduk kuda yang hilang kendali", katanya. Padahal setiap joki yang menunggangi kuda pemenang akan mendapat persenan dari pemiliknya.

Kuda milik tetangga tetuaku sering menjadi pemenang. Namanya, Halilintar. Larinya sangat cepat. "Secepat kilat". Begitu orang-orang memujinya. Tapi entah kenapa minggu pagi ini ia tidak berada didepan. Beberapa kuda baru mendominasi setiap perlombaan. Kuda-kuda milik Tuan Nambung, pengusaha muda didesa itu. Baru saja dia mendatangkan kuda-kuda dari luar negeri. Tingginya menyusahkan Darwis menungganginya sehingga butuh bantuan kursi bersusun tiga untuk naik kepunggungnya. Kecepatan lari kuda-kuda impor itu membuat Halilintar tidak bernyali. Begitu juga dengan Dg.Rowa', yang mempunya Halilintar. Hanya tersenyum-senyum kecil saat Tuan Nambung tertawa besar dengan kemenangannya. "Wajar kudamu kalah karena makannya hanya rumput desa". Begitu Tuan Nambung memberi komentar kepada Dg.Rowa' yang masih tersenyum-senyum kalah.

KEMBALI BERFIKIR
Apakah desaku masih seperti yang saya bayangkan ? Masih adakah keasrian itu ? Lapangan bola ? Canda gadis desa seberang dan gosipan ibu-ibu muda di sumur ?. Atau pacuan kuda di pinggir sungai ?. Aku kembali berfikir sejak kunjungan terakhirku dua bulan lalu. Saat itu musim tanam. Sengaja aku datang pagi supaya warna hijau merata di semua petakan sawah menyambut dan dapat mengobati kerinduan akan keasrian sepuluh tahun lalu. Ada sedikit perubahan ketika nafas kerbau-kerbau berubah menjadi dengungan mesin traktor. Mondar-mandir dan menjungkirbalikkan tanah. Tidak ada lagi suara cambukan dan teriakan petani, "hah...ho...hah...ho...". Memaksa kerbau-kerbau yang berjalan berat di petakan sawah.

Aku melangkah menuju rumah tetuaku di jalan yang digenangi air setiap lubangnya. Lalu-lalang sepeda motor. "Ah....ojek". Desaku sudah mengenal ojek. Seingatku sepuluh tahun lalu, jalan ini ramai kendaraan dokar yang lalu-lalang. Mengantar dan menjemput ibu-ibu desa kepasar. Terkadang suara canda campur gosip ibu-ibu desa itu lebih besar dari suara sepatu kuda. Sekarang mereka sudah mengenal ojek. Alasannya, lebih praktis dan cepat. Bisa menghindari jalanan berlubang. Dokar tidak bisa menghindari dari lubang sehingga selalu tubuh dokar goyang dan penumpangnya terkantuk di tiang besi dokar. Sakit tapi sudah terbiasa.

"Piang, bangun nak. Sudah jam sembilan. Tidak baik tidur pagi"
Suara bijak Dg.Te'ne dari bawah tangga rumahnya. Piang, back jago kami di tim sepakbola sepuluh tahun lalu. pagi setinggi ini belum juga bangun. Sakit mungkin dan orangtuanya belum mengecek betul keadaannya.

"Armang, kau tidak dengar suruhan bapakmu. Ayo bangun".
Tiga rumah dari rumah Piang, suara Dg.Sitti mencoba membangunkan paksa Armang, Pemain pengganti yang penyabar di tim sepakbola sepuluh tahun lalu. "ah...Arman, kau sama saja Piang. Pagi setinggi ini masih juga diranjang". Komentarku dalam hati sambil terus berjalan. Sempat-sempat tersenyum mengingat tingkah konyol mereka sepuluh tahun lalu.

"Bangun. Apa setiap pagi harus di siram air ?"
Tidak jauh dari rumah Armang, Dg Nurung bersuara keras di sertai suara hempasan air. Aku mendengarnya dari jalan. Mengagetkan. "Ada apa dengan Rahing ?. Tidur pagi. Tapi kenapa harus setiap pagi ? Armang dan Piangkah juga ? Apa mereka sudah bekerja ?Malam tentu mereka bekerja. Tapi kenapa harus di paksa bangun paginya ? Bukankah pagi pengganti malam jika mereka bekerja ?" Aku terus bertanya dalam hati hingga tidak sadar aku sudah sampai di depan rumah tetuaku. Suasananya sepi.

Belum juga aku naik di tangga rumah. Istirahat sambil duduk sejenak di kaki tangga. Memandangi beberapa petak sawah.

TERMENUNG
Tampak kesuburannya tidak seimbang. Hijau bercampur keriput di tiap batang padi. "Kenapa tidak di beri pupuk ?". Mungkin petani tidak percaya lagi pada pupuk camat atau pupuk camat menjual diri terlalu mahal sehingga petani tidak sanggup menghargainya ?. Krisis. Yah...aku baru ingat, rentang waktu sepuluh tahun itu di isi dengan krisis moneter. Harga-harga jadi mahal. Pupuk camat pasti ikut mahal. Dan petani hanya bisa memandangi padinya tanpa gairah. Padi yang sudah kecanduan pupuk camat. Pupuk camat itu seperti putau. Akan terus dicari dan mati jika lama tidak mengalir diurat syaraf. "Ini bagian dari kelicikan camat". Aku berkata demikian karena camat membuat ketergantungan petani pada pupuknya. Seandainya camat memberi pengarahan para petani tentang cara membuat pupuk, maka tidak perlu lagi mengatur antrian para petani tiap tahunnya untuk membeli pupuk di kantor kecamatan.

TERPAKU
Lapangan sepakbola mini tinggal jejak. Kantor urusan keluarga berencana dibangun memanjang diatasnya. Kantor itu sepi. Hanya tampak ibu tua berkacamata tebal duduk dibelakang meja. Dengan lincah jemarinya memilih huruf di mesin ketik kuno. Sekali-sekali dia membuka laci meja. Menutup. Kemudian melanjutkan ketikannya. Mulutnya komat-kamit seperti mengingat-ingat sesuatu. Sibuk dia seorang diri. Tidak lama berselang. Sebuah mobil plat merah masuk ke pekarangan kantor. Seorang ibu yang masih lebih muda dari ibu dibelakang mesin ketik turun dari mobil. Kacamata hitam besar menyangkut pas di hidungnya yang sedikit mancung. Tidak ada make-up. Kulitnya putih mulus yang mempercantik dirinya. Terburu-buru dia masuk kekantor. Ibu tua yang sedari tadi duduk di belakang mesin ketik, berdiri memberi hormat. Sejenak mereka berbincang. Ibu tua itu menunduk-nundukkan kepalanya dan duduk kembali setelah ibu berkacamata hitam itu masuk kedalam salah satu ruangan. Tidak lama dia didalam. Sekitar lima menit. Kembali ibu tua itu berdiri memberi hormat. Berbincang sejenak. Menunduk-nundukkan kepalanya kemudian ibu berkacamata hitam itu menuju mobil. Pergi. Lama betul aku memandangi kantor itu sambil mencari sebab untuk apa kantor itu didirikan. "Untuk memperkcil jumlah generasi desa ?", curigaku dalam hati.

TERKEJUT
Tempat kelompok pemuda bermain voli dan tempat anak-anak bermain kasti sepuluh tahun lalu. Terkapling bersama dengan dua petak sawah lainnya. Dikelilingi pagar kawat setinggi empat meter. Enam ekor kuda pacuan didalamnya memakan rumput yang tersedia di box-box penyimpanan makanan. Tidak ada rumput yang tumbuh didalam tanah kaplingan itu. Semuanya sudah tersaji di dalam box. Lelaki separuh baya berdandan rapi dan bersih mengamati kuda-kuda itu dari luar pagar. “Tuan Nambung”. Aku merupa lama. Lelaki yang penggemar kuda impor itu semakin memperkuat posisinya sebagai jawara pemilik kuda tercepat. Tidak beberapa jauh darinya, dua orang pemuda tergopoh-gopoh mengangkat rumput dari mobil box kedalam tanah kapling itu. Tuan nambung mengamatinya sangat teliti. Sekali-sekali menunjuk box-box makanan yang belum terisi rumput. Itu model instruksinya. Dengan suara mirip ringkikan kuda impor itu.

TERSENTAK
Kaget. Sosok tua muncul dari balik pintu. “Kenapa duduk disitu, ayo naik?”. Suaranya sudah hampir tenggelam oleh usia. Kakinya memilih dasar rumah yang masih kuat menerima beban manusia meskipun seringan tubuh tetuaku.
“Lama kau tidak ke desa. Teman-temanmu setiap saat menanyakan kapan kau datang lagi”.
“Iya mak, saya juga rindu sama mereka”
“Sudah banyak yang merantau. Hanya Sudding yang ke kota. Menjadi buruh bangunan. Sebagian keluar pulau. Banyak pabrik yang menawarkan jasa pada mereka”
“Syukurlah. Yang masih tinggal, kerjanya apa ?”
“Tidak jelas. Malam dijadikan siang dan siang dijadikan malam. Orang tua mereka menjadi susah”
Seketika teringat Piang, Armang dan Rahing. “Dalam kategorikah mereka?” Aku lama terdiam setelah tanyaku dalam hati perihal tiga teman lamaku.
“Hidup di desa kini susah nak. Banyak sawah tidak memberi harapan. Karena itu orang-orang desa ingin menjual sawahnya. Sebagian dari mereka ingin membangun pabrik dan pasar kecil (baca; mini market). Ada juga yang membiarkannya seperti lahan tak bertuan. Pemiliknya ke kota”
“Apa pupuknya terlalu mahal mak?”
“Tidak hanya itu, usia pemiliknya tidak lagi sanggup untuk bekerja di sawah. Sementara anak-anaknya tidak punya minat kelumpur sawah. Mereka mengejar sekolah pada pagi hari dan pulang pada petangnya”
Wanita tua itu menghela nafas panjang. Pandangannya jauh menerawang ke sebelah selatan. Kemudian melanjutkan kisahnya.
“Hari minggu besok, tidak kau dapatkan lagi pacuan kuda. Tanah lapang sudah dihanyutkan air bah setiap musim hujan datang. Airnya menakutkan. Tidak ada lagi yang berani bermain disana. Saat kemarau, sungai jadi sebaliknya. Kering”
“Berarti sumur mak makin ramai orang-orang dari seberang desa?”
“Mereka sudah mengenal air ledeng. Sudah lama terpasang disetiap rumah mereka pipa ledeng. Ada juga yang kongsi. Satu aliran, dua jalur. Mak sendiri masih pakai air sumur. Itu peninggalan tetua lakimu. Dia menggalinya beramai-ramai dengan para tetangga. Jauh sebelum kau lahir” Tetuaku mengenangnya sedih bercampur bangga.
Kerinduanku tidak terpenuhi. Tetuaku terus mengisahkan apa yang telah berubah di desaku.
“Karyamin sudah menikah lagi……………”
“Dg.Rowa meninggal sehari setelah kudanya meninggal……………”
“Lurah masuk penjara…………….”
“Darwis……………..”
“Camat…………………….”
“P………………….”
“…………………………….”
“…..”
“Allahu Akbar Allahu Akbar” Suara Azan Dzuhur terdengar berserak dan melemas. Aku segera ke sumur. Berwudhu.
***
Kini aku berpikir untuk kembali ke desa. Bukan untuk tidak kembali, tetapi apa yang bisa aku lakukan disana. Sadar akan masa lalu tidak akan kembali dan tidak bisa menghindari perubahan. Perubahan ? itu juga yang harus dipikirkan. Memikirkannya berarti membuat cerita baru. Dan aku yakin lebih membosankan lagi berbicara tentang perubahan dan anda akan pergi menjauh.

Makassar, 27 Maret 2007

Mar 2, 2007

KEPAHLAWANAN

Untuk sepupuku "Ino" yang baru saja mendaftar menjadi tentara


Pagi ini begitu sibuk. Masyarakat kota berjalan di trotoar dengan tujuan pagi yang sangat membebankan. Rupa-rupa air muka mereka tampakkan. Tergantung seragam yang mereka kenakan. Dasi yang begitu ketat tergantung dileher menunjukkan peluang dan hambatan dari tiap ujung keningnya. Seragam sekolah menunjukkan kepasrahan masa remaja dalam kekakuan gerak dan berimajinasi. Pakaian kumuh dan lusuh menunjukkan kekalahan hidup dan kepasrahan pada nasib. Masih banyak lagi rupa yang berjalan di trotoar itu. Trotoar depan rumah Pak Darmadi. Penguasaha muda di kota itu. Sebulan lalu dia memecat Boby. Penjaga rumahnya siang dan malam. Alasan kemalingan dan Boby gagal menghalangi niat para maling itu.
Saat itu tepat jam 2:00 dini hari. Seorang yang berpotensi menjadi maling profesional masuk dengan memanjat tembok pagar setinggi dua meter. Boby dengan sigap melompat dan menerkamnya dengan kekuatan yang muncul dari tanggung jawabnya sebagai penjaga. Tapi dia tidak punya senjata. Dan akhirnya kalah hanya dengan satu kali tendangan keras dari maling itu tepat mengenai dadanya. Dia tertelungkup. Mengerang kesakitan dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain memandangi maling itu mengendap mendekati jendela rumah tanpa pengaman anti maling.
Paginya, begitu rasa sakit didadanya yang belum pulih betul, dia menjadi sasaran kemarahan majikannya. Terusir tanpa ada penjelasan darinya akan usaha yang mempertaruhkan nyawanya semalam. Hanya menunduk. Sesekali menoleh kemajikannya dan sekeliling halaman yang tak begitu luas. Dia berjalan menghampiri pagar dan pergi. Sekali lagi, dia terusir.
Pagi ini begitu sibuk. Berbagai merek dan model kendaraan lalu-lalang dijalan kota itu. Derunya begitu menenggelamkan pikiran-pikiran kreatif. Polusinya menyesakkan nafas. Bunyi klakson menandakan ketidaksabaran yang berlebihan dan kerakusan yang teramat sangat. Sesekali pengemudinya meneriaki dengan nuansa makian kepada pengemudi lainnya :
“we….telaso, jalanko cepat!”
Atau
“hati-hatiko ces, pakai weserko!”
Dan atau
“tolona anne……!”
Atau mungkin
“mako mati?”
Begitu ragam pagi ini kata-kata yang menunjukkan ketidaksabaran dari para pengemudi. Seragam makanan yang tersaji didepan hidung Betriks. Penjaga baru di rumah Pak Darmadi. Penjaga yang menggantikan tugas Boby siang dan malam. Baru dua minggu dia bertugas dan cukup meyakinkan Pak Darmadi dengan body yang lebih besar dan kekar dibandingkan Boby. Tentu akan menjadi pertimbangan bagi para maling untuk mencuri melihat body Betriks yang begitu besar kekar yang bisa menerkam tiga orang sekaligus meskipun belum teruji.
Pagi ini begitu sibuk. Tapi tidak begitu sibuk bagi Pak Darmadi. Dia masih bermalas-malasan di tempat tidur. Sebagai pimpinan Perusahaan Topaz, dia tidak terlalu mengikat dirinya dengan waktu kantorannya. Lelahnya semalam belum pulih. Semalaman dia mendapat undangan dari Pak Sutomo, Direktur Bank Kapor, di Club Kembang Peluk. Aneka macam dia nikmati di club itu hingga lelahnya begitu berat. Di pertengahan malam dia pulang kerumahnya dengan kepala yang sudah miring kekiri dan kekanan. Baju dan celana yang kusut tidak beraturan seperti prajurit perang yang baru saja duel one to one. Dia mebuka pagar dan dilihatnya Betriks tetap terjaga, berdiri kokoh bak hulk hogan. Pak Darmadi tersenyum puas :
“baguuus……, lanjutkan kerjamu!” sambil mengelus-elus pundak Betriks.
Pagi ini begitu sibuk. Ceceran darah yang begitu banyak didepan rumah Pak Darmadi. Tidak ada yang tahu apakah ceceran darah itu adalah milik manusia atau binatang. Orang-orang yang lewat didepan rumah Pak Darmadi tidak begitu mempersoalkan. Mereka berjalan dengan berbagai macam dipikirannya. Sekali lagi sesuai dengan seragam yang dikenakannya. Begitu juga dengan seisi rumah Pak Darmadi. Tidak ada yang mempertanyakan kenapa ada darah di depan rumahnya.
Ceceran darah itu kian lama kian meresap dan menyatu keras dengan aspal jalanan. Mengering oleh hembusan nafas knalpot kendaraan. Dipermukaannya penuh dengan debu jalanan. Terkadang terlindas ban kendaraan yang lalu lalang.
Pagi ini begitu sibuk. Beberapa pejalan kaki terlihat menutup hidup dan mulutnya setelah sesempat mungkin menengok ke selokan sedalam 2 meter di depan rumah Pak Darmadi. Meludah beberapa kali, entah karena jijik atau kebiasaan. Ada apa di dalam selokan itu?
Boby, yah… Boby yang terlentang penuh darah. Darahnya begitu banyak hingga menutupi seluruh bagian-bagian tubuhnya. Dia tidak bergerak sedikit pun. Mati. Sungguh mekanisme kematian yang sangat tragis. Didadanya terdapat 3 tusukan badik sehingga mengeluarkan darah yang begitu banyak. Mulutnya pun mengeluarkan darah. Tampaknya sebelum tusukan badik itu mendarat di dadanya, pukulan telak berkali-kali lebih dahulu mendarat didada dan mukanya.
Pagi ini begitu sibuk. Tidak ada yang tahu cerita dini hari tadi. Penyebab kematian Boby didepan rumah Pak Darmadi. Kepahlawanannya telah mencegah niat para maling untuk mencuri. Maling yang sama yang telah membuatnya terusir dan kehilangan kepercayaan dari Pak Darmadi.
Saat itu pukul 2:00 dini hari ketika maling yang sama sebulan lalu datang dengan kepercayaan diri yang begitu tinggi. Pengalaman sebulan yang lalu tidak membuatnya kuatir untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Dia tidak tahu kalau Boby sudah di pecat dari tugasnya sebagai penjaga. Kini dia harus berhadapan dengan penjaga yang berbadan lebih besar dan kekar dari Boby.
Saat itu pukul 2:00 dini hari ketika Boby menyempatkan diri melintas didepan rumah Pak Darmadi. Dia melihat maling yang sama sebulan lalu mengintai dibalik pagar Pak Darmadi. Dengan rasa tanggungjawab yang masih tersisah sebagai penjaga dan keinginan untuk berbuat di sisa hidupnya, dia berlari sekencang mungkin menghampiri maling itu. Melompat dan menerkam dengan sekuat tenaga. Terjadi perkelahian yang begitu seru :
“Biadab, mati kau” maling itu melancarkan tendangan bertubi-tubi kearah dada Boby. Boby terlempar dan tersandar di pagar. Tersungkur, meski merasakan sakit yang sangat hingga mengeluarkan darah di mulutnya, dia berusaha bangun dan kembali menerkam. Kembali terjadi perkelahian. Kali ini Boby berhasil menggigit tangan dan kakinya. Lukanya mengeluarkan darah yang banyak. Boby belum puas. Dia melompat dan berhasil mencakar muka maling itu. Maling itu mengerang kesakitan. Tapi dia mengeluarkan sebilah badik yang tersembunyi dari balik bajunya dan menusukkannya tepat di dada kiri Boby. Boby mengerang. Sakit tentu dan mengeluarkan darah. Mengalir begitu deras. Kembali dia tersungkur di jalan depan rumah Pak Darmadi. Didalam pikirannya hanyalah menang atau mati. Sebuah tekad yang begitu berani dalam hidup. Dengan tekadnya itu, dia kembali berdiri. Sempoyongan dan menerkam selanjutnya menggigit paha maling itu. Maling itu mengerang kesakitan. Juga mengeluarkan darah dan tersungkur. Kedua makhluk itu silih berganti menyerang hingga mereka bergulingan diatas aspal jalan yang sudah sepi. Begitu lama pergumulan itu hingga kemudia maling itu kembali meraih badiknya dan menusukkan sebanyak dua kali di dada Boby. Kini Boby benar-benar tidak bisa berkutik lagi. Darahnya semakin banyak. Kembali tersungkur dan tidak bisa bangun kembali. Matanya menatap tajam kearah maling itu seolah-olah dia ingin mengatakan “Akulah pemenang, karena kau tidak adil. Kau memakai badik. Sungguh manusia tidak pernah adil”. Itulah kata terakhir dari Boby sebelum dia gugur sebagai pahlawan. Maling itu berdiri tertatih dengan luka yang banyak di sekujur tubuhnya. Susah payah dia berdiri dan mengangkat tubuh Boby dan membuangnya ke selokan. Setelah itu, maling itu berdiri sejenak menatap lama rumah Pak Darmadi. Lalu berjalan, pergi. Dia mengurungkan niatnya malam itu untuk mencuri. Lukanya begitu banyak dan sekujur tubuhnya penuh dengan darah sehabis perkelahian sengit dengan Boby yang berakhir dengan kematian Boby.
Pagi ini begitu sibuk. Ternyata Betriks baru bangun dari tidurnya. Dia luput dari kejadian dini hari tadi. Kejadian yang hampir mengancam karirnya sebagai penjaga rumah Pak Darmadi. Bobylah yang telah menyelamatkan karir dan nyawanya dengan mengorbankan hidupnya.
Pagi ini benar-benar begitu sibuk hingga lupa memberi penghargaan terhadap Boby, sang pahlawan. Tubuhnya tetap terlentang di selokan. Bercampur kotoran dan sampah manusia. Tubuhnya penuh darah, dan mulutnya menganga seolah-olah dia ingin mengatakan :
“Dalam sejarah, yang aku temukan adalah kemengan tanpa penghargaan”
Pagi ini begitu sibuk. Boby hanyalah binatang sejenis Anjing. Tapi dia adalah pahlawan. Tuhan sangat memuja kepahlawanan. Dan aku begitu ingin menjadi seperti Boby. Seperti anjing penjaga. Tidak perlu berbagai macam seragam untuk menjaga negara ini. Tidak perlu senjata ataupun undang-undang yang begitu rumit. Cukup cakar dan gigi taring untuk menyerang musuh.


Makassar, Maret 2007

MARLIN HANYA BERHARAP

Cerita Sebagai Pengungkap Data Diri Yang tak lengkap (sangaja mungkin)

1.Apa penting sebuah nama untuk perkenalan. Umumnya orang menganggapnya penting karena itu merupakan salah satu identitas untuk membedakan yang satu dengan yang lain. Tak jauh beda denganku, nama adalah penyampaian awal dari diri sebelum mengenal harapan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Dengan harapan hidup, nama terkadang diabaikan dan diri menjadi identik dari tokoh-tokoh besar dunia yang memiliki harapan hidup yang sama dengan diri kita.
Namaku Marlin. Sekali lagi ini adalah penyampaian awal dari diri. Setidaknya ini akan membuat anda merasa pasti ketika berpapasan di jalan. Atau membedakan zaman purbakala yang tanpa nama dengan sekarang.
Ataukah perlu saya lengkapi nama yang menjadi identitas formal untuk mendapatkan penghargaan akademik dan dunia kerja?. Sumarlin. Begitulah kira-kira ayahku sesumbar memberi nama tanpa berpikir panjang bahwa saya tidak begitu tertarik dengan nama itu. Alasannya, nama itu terlalu feminim bagiku. Saya adalah lelaki. Berharap memiliki nama yang menunjukkan keperkasaan seorang lelaki. Baso, Dullah, Madi, Pudding, atau Rahing.
Tapi, sudahlah. Sekali lagi nama hanya penyampaian awal dari diri. Tidak begitu penting untuk larut mempermasalahkannya. Saya hanya ingin mengajak anda ke desa kelahiranku. Disana kusimpan banyak harapan yang membuat saya lupa dengan namaku sendiri. Desa yang sudah begitu lama menjadi asing bagiku. Lamanya tidak begitu melekat diingatanku. Yang jelas saya meninggalkannya ketika air susu dari puting yang sudah usang mulai mengering sekering sumur tua karena isapan 5 orang saudaraku yang lebih dahulu menikmatinya. Bahkan ibuku mencari donor air susu dari beberapa tetangga yang masih menampung air susu hanya untuk menenangkanku dari tangis. Saya kecewa. Sungguh teramat kecewa dengan donor air susu itu karena setelah aku belajar jatuh hati pada perempuan, saya tersadar ternyata banyak perempuan yang saya kenal seusiaku pernah seputing ketika bayi dulu. Adat dan kepercayaan orang tuaku tentu melarang keras saya jatuh hati pada mereka. Tapi saya tidak sempat mengadukan kekecewaan ini kepada ibuku karena dia keburu meninggal dunia di usiaku yang ke-9 tahun. Ayahku enggan mencari penggantinya. Sungguh kesetiaan yang semoga kuwarisi.
2.Sekarang saya ingin mengajak anda ke desa kelahiranku yang saya terasing darinya hingga di usiaku yang ke-26 sekarang. Anggaplah kita berangkat dari Makassar dimana saya berdomisili sekarang. Lebih baik kita naik motor saja supaya anda lebih merasakan perjalanan kesana. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan dalam perjalanan kesana.
“Coba lihat mereka yang dipinggir jalan. Para pengemudi kendaraan becak itu!”
“Siapa mereka?”
“Mereka satu kampong saya”
“Kenapa kau menebak begitu?”
“Sudah menjadi identitas formal bahwa pengemudi becak di Makassar adalah sekampung saya”
“Apa kau merasa malu dan tersinggung dengan identitas itu”
“Tidak begitu terlalu. Saya hanya berharap mereka bisa lebih baik dari itu. Memiliki toko yang menampung segala kebutuhan manusia di kota ini atau mengencangkan dasinya saat turun dari mobil yang bermerek”.
Perjalanan ke desaku akan melewati dua kabupaten. Gowa dan Takalar. Dua kabupaten ini memiliki banyak keasrian yang membuat anda betah berlama-lama di sana. Tapi tidak di kabupaten dimana desa saya bertempat. Diperbatasan menuju kabupaten saya, anda akan merasakan suasana yang hambar, sehambar sayur yang lupa ditambah garam. Disana hanya diminati para tentara muda yang sedang berlatih bak bertempur di negeri timur tengah yang panasnya begitu membakar.
Kita berangkat tepat pukul 12 siang. Pilihan waktu yang membuat anda akan lebih mengenal kabupaten saya dari cerita-cerita kebanyakan orang. Seandainya masing-masing kita mengendarai motor, maka kita bisa memberi tumpangan anak sekolah dasar diperbatasan yang pulang dari tepat pukul 1.30. Kebanyakan mereka berdomisili di kabupaten saya tapi sekolahnya di Takalar. Jarak sekolah dengan rumah mereka sekitar 1 kilo meter. Jarak yang begitu melelahkan di usia mereka.
Pintu gerbang diperbatasan begitu sederhana. Hanya lambang kabupaten saya dengan kuda yang begitu tampak jantan sebagai simbolnya. “Selamat Datang di Kabupaten Jeneponto”. Begitulah kira-kira kalimatnya sebagai penjemput tamu. Saya tidak begitu memperhatikannya karena saya lebih sering focus memperbaiki posisi duduk saya diatas motor atau mobil yang saya tumpangi ketika sudah masuk di pintu gerbang itu. Saya harap anda pun begitu ketika mulai masuk di pintu gerbang itu karena anda akan merasakan seolah-olah anda berada di tengah laut yang sedang badai.
Angin meniup dengan kencangnya ditengah jalan bak ombak dilaut yang menenggelamkan kapal Tampomas II. Dan anda akan bertanya :
“Kenapa separah itu?”
Aku akan menjawab :
“Karena dana perbaikan jalan tidak pernah mengalir dengan sempurna”
“Kenapa tidak di advokasi?”
“Melawan berarti berhadapan dengan adat karena semua aparat pemerintahan berasal dari keturunan darah biru (karaeng)”
“Sebegitu besarkah pengaruh mereka”
“Iya, dan saya hanya berharap keturunan mereka ditenggelamkan oleh kesombongan mereka. Dan tak berarti lagi ketika anak-anakku mulai lahir dari rahim ibunya”
Sekarang musim kemarau. Musim yang membuat para pemuda disana ke kota. Ke kota bukan untuk menikmati hasil jerih payahnya di musim hujan. Tapi untuk mencari tunjangan hidup dan kembali saat musim sudah berganti.
Ditengah perjalanan yang tidak mengenakkan itu. Menolehkan kekiri dan kekanan. Sawah-sawah dan ladang-ladang begitu kering. Sehelai rumput menjadi rebutan tiga ekor binatang (kuda, kerbau dan kambing). Tidak ada pengairan. Entah apa dipikiran pemerintah setempat untuk tidak mengusahakan pengairan.
“Kabupaten kita dikelilingi oleh laut, tapi air laut enggan bersahabat dengan tanaman”. Saya hanya bisa diam jika itu alasannya. Saya hanya berharap suatu saat nanti generasi muda Jeneponto menguasai teknologi dan memberi solusi untuk para petani.
3.Kecamatan pertama yang akan kita lalui adalah Kecamatan Bangkala Barat. Tak begitu jauh dari perbatasan anda bisa singgah di deretan warung penjual coto kuda. Anda bisa menikmatinya racikan asli dari tangan yang begitu berpengalaman membuatnya. Tapi jangan heran beberapa pelayannya tampak berdandan menor. Artinya selain menyediakan masakan coto kuda, deretan warung itu juga menyediakan pelayanan istemewah ala kota Amsterdam (pelayanan seksual). Berbagai lapisan masyarakat sudah pernah berkunjung kesana. Mulai yang bertangan kasar sampai yang bertangan halus. Mulai dari yang memegang cangkul sampai yang berdasi. Dan bahkan ustads pun tidak mau kertinggalan untuk mencicipi.
“Kenapa pemerintah setempat tidak menutup warung-warung itu?”
“Mereka selalu berpikir panjang untuk menutup warung-warung itu karena mereka juga ikut nimbrung setelah makan coto kuda”.
“Apa ada yang pernah menuntut untuk penutupan warung-warung itu?”
“Ada, tapi saya hanya berharap semoga sipenuntut melihat masalah lebih jeli karena mereka ada hanya karena keterdesakan kebutuhan ekonomi”
4.Kecamatan kedua yang akan dilalui adalah Kecamatan Bangkala Timur. Disini desa saya bertempat. Tapi sebelum kita ke desaku. Kita akan singgah dan mengamati aktivitas kantor kecamatan. Sungguh sepi. Aktivitas orang-orang didalamnya tidur dan bermain kartu. Konon kepala camatnya pernah menjual seluruh RASKIN dipasar yang bukan haknya. Sementara banyak rakyatnya masih kekurangan persediaan makanan. Kita tidak usah berlama-lama disana karena akan membuat jantungmu berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang (Dewa !9).
Setelah melewati kantor kecamatan, kita akan sampai di kelurahan dimana desa saya bertempat. Kelurahan Allu. Kita akan singgah dipasar sejenak untuk melepaskan lelah perjalanan kita dan saya akan menceritakan pengalaman masa kecilku setiap ibuku mengajak pulang kampung di liburan catur wulan di pasar itu. Pagi hari saya sering menawarkan diri menjadi kenek angkutan dokar. Meski tanpa bayaran, tapi saya merasa senang naik dokar gratis. Terkadang kalau penumpangnya penuh dan saya tidak mendapatkan tempat duduk lagi. Sopir dokar menyuruhku bergelantungan. Saya tidak keberatan.
Disiang hari saya dan teman kecilku menyusuri kios-kios pasar yang sudah sepi dari aktivitas jual-beli. Berjalan sambil menunduk berharap ada recehan yang sempat terjatuh dari sarangnya. Kadang-kadang kami menemukan beberapa recehan tapi jika hari lagi sial, tak satu pun yang kami temukan.
Disamping pasar ada jalanan yang kurang menarik untuk di pandang. Jalanan itu menuju ke desaku. Namanya Sawitto. Baru 6 bulan yang lalu di percantik dengan aspal meleleh yang meyakinkan masayarakat desaku bahwa pemerintah sangat merespon aspirasi rakyatnya. Tapi 6 bulan berlalu dan musim hujan pun datang. Aspal itu kembali kebentuk semula. Tinggal lubang-lubang yang begitu besar dan serakan kerikil yang membuat hati luluh oleh luapan air. Saya hanya berharap agar pemerintah setempat tidak memainkan logika diatas perut.
“Apa tidak ada yang menuntut?”
“Sudah saya katakan, menuntut sama saja melawan adat”
“Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?”
“Saya hanya berharap, berharap dan berharap”
“Itu bukan penyelesaian”
“Saya tahu, tapi hanya itu yang saya miliki. Dengan harapan kita masih bisa melihat matahari terbit dari timur, meskipun sinarnya kelabu menerpa wajah kita”
selesai. Banyak yang ingin saya ceritakan tentang harapan-harapan. Tapi sudahlah......ini terlalu promosi. Saya tidak suka mempeomosikan diri.

Makassar, Februari 2007