Mar 2, 2007

MARLIN HANYA BERHARAP

Cerita Sebagai Pengungkap Data Diri Yang tak lengkap (sangaja mungkin)

1.Apa penting sebuah nama untuk perkenalan. Umumnya orang menganggapnya penting karena itu merupakan salah satu identitas untuk membedakan yang satu dengan yang lain. Tak jauh beda denganku, nama adalah penyampaian awal dari diri sebelum mengenal harapan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Dengan harapan hidup, nama terkadang diabaikan dan diri menjadi identik dari tokoh-tokoh besar dunia yang memiliki harapan hidup yang sama dengan diri kita.
Namaku Marlin. Sekali lagi ini adalah penyampaian awal dari diri. Setidaknya ini akan membuat anda merasa pasti ketika berpapasan di jalan. Atau membedakan zaman purbakala yang tanpa nama dengan sekarang.
Ataukah perlu saya lengkapi nama yang menjadi identitas formal untuk mendapatkan penghargaan akademik dan dunia kerja?. Sumarlin. Begitulah kira-kira ayahku sesumbar memberi nama tanpa berpikir panjang bahwa saya tidak begitu tertarik dengan nama itu. Alasannya, nama itu terlalu feminim bagiku. Saya adalah lelaki. Berharap memiliki nama yang menunjukkan keperkasaan seorang lelaki. Baso, Dullah, Madi, Pudding, atau Rahing.
Tapi, sudahlah. Sekali lagi nama hanya penyampaian awal dari diri. Tidak begitu penting untuk larut mempermasalahkannya. Saya hanya ingin mengajak anda ke desa kelahiranku. Disana kusimpan banyak harapan yang membuat saya lupa dengan namaku sendiri. Desa yang sudah begitu lama menjadi asing bagiku. Lamanya tidak begitu melekat diingatanku. Yang jelas saya meninggalkannya ketika air susu dari puting yang sudah usang mulai mengering sekering sumur tua karena isapan 5 orang saudaraku yang lebih dahulu menikmatinya. Bahkan ibuku mencari donor air susu dari beberapa tetangga yang masih menampung air susu hanya untuk menenangkanku dari tangis. Saya kecewa. Sungguh teramat kecewa dengan donor air susu itu karena setelah aku belajar jatuh hati pada perempuan, saya tersadar ternyata banyak perempuan yang saya kenal seusiaku pernah seputing ketika bayi dulu. Adat dan kepercayaan orang tuaku tentu melarang keras saya jatuh hati pada mereka. Tapi saya tidak sempat mengadukan kekecewaan ini kepada ibuku karena dia keburu meninggal dunia di usiaku yang ke-9 tahun. Ayahku enggan mencari penggantinya. Sungguh kesetiaan yang semoga kuwarisi.
2.Sekarang saya ingin mengajak anda ke desa kelahiranku yang saya terasing darinya hingga di usiaku yang ke-26 sekarang. Anggaplah kita berangkat dari Makassar dimana saya berdomisili sekarang. Lebih baik kita naik motor saja supaya anda lebih merasakan perjalanan kesana. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan dalam perjalanan kesana.
“Coba lihat mereka yang dipinggir jalan. Para pengemudi kendaraan becak itu!”
“Siapa mereka?”
“Mereka satu kampong saya”
“Kenapa kau menebak begitu?”
“Sudah menjadi identitas formal bahwa pengemudi becak di Makassar adalah sekampung saya”
“Apa kau merasa malu dan tersinggung dengan identitas itu”
“Tidak begitu terlalu. Saya hanya berharap mereka bisa lebih baik dari itu. Memiliki toko yang menampung segala kebutuhan manusia di kota ini atau mengencangkan dasinya saat turun dari mobil yang bermerek”.
Perjalanan ke desaku akan melewati dua kabupaten. Gowa dan Takalar. Dua kabupaten ini memiliki banyak keasrian yang membuat anda betah berlama-lama di sana. Tapi tidak di kabupaten dimana desa saya bertempat. Diperbatasan menuju kabupaten saya, anda akan merasakan suasana yang hambar, sehambar sayur yang lupa ditambah garam. Disana hanya diminati para tentara muda yang sedang berlatih bak bertempur di negeri timur tengah yang panasnya begitu membakar.
Kita berangkat tepat pukul 12 siang. Pilihan waktu yang membuat anda akan lebih mengenal kabupaten saya dari cerita-cerita kebanyakan orang. Seandainya masing-masing kita mengendarai motor, maka kita bisa memberi tumpangan anak sekolah dasar diperbatasan yang pulang dari tepat pukul 1.30. Kebanyakan mereka berdomisili di kabupaten saya tapi sekolahnya di Takalar. Jarak sekolah dengan rumah mereka sekitar 1 kilo meter. Jarak yang begitu melelahkan di usia mereka.
Pintu gerbang diperbatasan begitu sederhana. Hanya lambang kabupaten saya dengan kuda yang begitu tampak jantan sebagai simbolnya. “Selamat Datang di Kabupaten Jeneponto”. Begitulah kira-kira kalimatnya sebagai penjemput tamu. Saya tidak begitu memperhatikannya karena saya lebih sering focus memperbaiki posisi duduk saya diatas motor atau mobil yang saya tumpangi ketika sudah masuk di pintu gerbang itu. Saya harap anda pun begitu ketika mulai masuk di pintu gerbang itu karena anda akan merasakan seolah-olah anda berada di tengah laut yang sedang badai.
Angin meniup dengan kencangnya ditengah jalan bak ombak dilaut yang menenggelamkan kapal Tampomas II. Dan anda akan bertanya :
“Kenapa separah itu?”
Aku akan menjawab :
“Karena dana perbaikan jalan tidak pernah mengalir dengan sempurna”
“Kenapa tidak di advokasi?”
“Melawan berarti berhadapan dengan adat karena semua aparat pemerintahan berasal dari keturunan darah biru (karaeng)”
“Sebegitu besarkah pengaruh mereka”
“Iya, dan saya hanya berharap keturunan mereka ditenggelamkan oleh kesombongan mereka. Dan tak berarti lagi ketika anak-anakku mulai lahir dari rahim ibunya”
Sekarang musim kemarau. Musim yang membuat para pemuda disana ke kota. Ke kota bukan untuk menikmati hasil jerih payahnya di musim hujan. Tapi untuk mencari tunjangan hidup dan kembali saat musim sudah berganti.
Ditengah perjalanan yang tidak mengenakkan itu. Menolehkan kekiri dan kekanan. Sawah-sawah dan ladang-ladang begitu kering. Sehelai rumput menjadi rebutan tiga ekor binatang (kuda, kerbau dan kambing). Tidak ada pengairan. Entah apa dipikiran pemerintah setempat untuk tidak mengusahakan pengairan.
“Kabupaten kita dikelilingi oleh laut, tapi air laut enggan bersahabat dengan tanaman”. Saya hanya bisa diam jika itu alasannya. Saya hanya berharap suatu saat nanti generasi muda Jeneponto menguasai teknologi dan memberi solusi untuk para petani.
3.Kecamatan pertama yang akan kita lalui adalah Kecamatan Bangkala Barat. Tak begitu jauh dari perbatasan anda bisa singgah di deretan warung penjual coto kuda. Anda bisa menikmatinya racikan asli dari tangan yang begitu berpengalaman membuatnya. Tapi jangan heran beberapa pelayannya tampak berdandan menor. Artinya selain menyediakan masakan coto kuda, deretan warung itu juga menyediakan pelayanan istemewah ala kota Amsterdam (pelayanan seksual). Berbagai lapisan masyarakat sudah pernah berkunjung kesana. Mulai yang bertangan kasar sampai yang bertangan halus. Mulai dari yang memegang cangkul sampai yang berdasi. Dan bahkan ustads pun tidak mau kertinggalan untuk mencicipi.
“Kenapa pemerintah setempat tidak menutup warung-warung itu?”
“Mereka selalu berpikir panjang untuk menutup warung-warung itu karena mereka juga ikut nimbrung setelah makan coto kuda”.
“Apa ada yang pernah menuntut untuk penutupan warung-warung itu?”
“Ada, tapi saya hanya berharap semoga sipenuntut melihat masalah lebih jeli karena mereka ada hanya karena keterdesakan kebutuhan ekonomi”
4.Kecamatan kedua yang akan dilalui adalah Kecamatan Bangkala Timur. Disini desa saya bertempat. Tapi sebelum kita ke desaku. Kita akan singgah dan mengamati aktivitas kantor kecamatan. Sungguh sepi. Aktivitas orang-orang didalamnya tidur dan bermain kartu. Konon kepala camatnya pernah menjual seluruh RASKIN dipasar yang bukan haknya. Sementara banyak rakyatnya masih kekurangan persediaan makanan. Kita tidak usah berlama-lama disana karena akan membuat jantungmu berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang (Dewa !9).
Setelah melewati kantor kecamatan, kita akan sampai di kelurahan dimana desa saya bertempat. Kelurahan Allu. Kita akan singgah dipasar sejenak untuk melepaskan lelah perjalanan kita dan saya akan menceritakan pengalaman masa kecilku setiap ibuku mengajak pulang kampung di liburan catur wulan di pasar itu. Pagi hari saya sering menawarkan diri menjadi kenek angkutan dokar. Meski tanpa bayaran, tapi saya merasa senang naik dokar gratis. Terkadang kalau penumpangnya penuh dan saya tidak mendapatkan tempat duduk lagi. Sopir dokar menyuruhku bergelantungan. Saya tidak keberatan.
Disiang hari saya dan teman kecilku menyusuri kios-kios pasar yang sudah sepi dari aktivitas jual-beli. Berjalan sambil menunduk berharap ada recehan yang sempat terjatuh dari sarangnya. Kadang-kadang kami menemukan beberapa recehan tapi jika hari lagi sial, tak satu pun yang kami temukan.
Disamping pasar ada jalanan yang kurang menarik untuk di pandang. Jalanan itu menuju ke desaku. Namanya Sawitto. Baru 6 bulan yang lalu di percantik dengan aspal meleleh yang meyakinkan masayarakat desaku bahwa pemerintah sangat merespon aspirasi rakyatnya. Tapi 6 bulan berlalu dan musim hujan pun datang. Aspal itu kembali kebentuk semula. Tinggal lubang-lubang yang begitu besar dan serakan kerikil yang membuat hati luluh oleh luapan air. Saya hanya berharap agar pemerintah setempat tidak memainkan logika diatas perut.
“Apa tidak ada yang menuntut?”
“Sudah saya katakan, menuntut sama saja melawan adat”
“Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?”
“Saya hanya berharap, berharap dan berharap”
“Itu bukan penyelesaian”
“Saya tahu, tapi hanya itu yang saya miliki. Dengan harapan kita masih bisa melihat matahari terbit dari timur, meskipun sinarnya kelabu menerpa wajah kita”
selesai. Banyak yang ingin saya ceritakan tentang harapan-harapan. Tapi sudahlah......ini terlalu promosi. Saya tidak suka mempeomosikan diri.

Makassar, Februari 2007