Mar 29, 2007

KEMBALI KE DESA

Aku ingin bercerita dan mungkin anda akan bosan mendengarkannya. Aku tidak tahu apakah ini nyata atau hanya fiktif belaka. Duduklah sebentar saja dan lepaskan pikiran anda bahwa aku hanya seorang penghayal.

INGIN KEMBALI KE DESA
Anda bisa bayangkan sendiri. Petakan-petakan sawah di pagi hari. Padi-padi yang masih remaja memancarkan warnanya. Membangkitkan kegairahan untuk beraktivitas pagi. Sore harinya, angin yang menyelinap dari bebukitan kecil menyentuh di setiap pucuknya dan menuntunnya untuk menari seiring suara seruling gembala kecil di pundak kerbaunya. Suara desah air antara halus dan deras di kaki sungai. Sekali-sekali menggelombang kecil menandakan ada yang memainkan jernihnya. Sekelompok anak yang belum belasan tahun, meloncat dari ketinggian tiga meter. Mendarat sempurna di permukaan air. Sorak-sorai kegembiraan mereka. Semuanya lelaki. Telanjang dan setengah telanjang. Tidak ada anak perempuan yang berani mendekat. Dari beberapa meterlah bisa ditemukan beberapa anak perempuan bermain ditepinya. Mengumpulkan batu-batuan kecil nan cantik. Atau permainan peran dan masak-memasak.

Aku sendiri bisa bayangkan. Keasrian desaku kala musim padi. Hijaunya selalu menanti di pagi hari. Meski pakaian-pakaian kumuh para petani. Lalu-lalang. Membawa cangkul atau sabit. Warnanya tetap mendominasi. Memberikan arti kesuburan dan kesejahteraan selalu. Di beberapa petak sawah, padinya tampak mulai dewasa. Ketekunan penggarapnya selalu memanjakannya dengan pupuk jualan camat desa. Itu Pasti. Meski harga pupuknya sedikit mengimbangi harga sekolah lanjutan pertama anak-anak desa, tapi para petani tetap saja berusaha menjangkaunya.

Tidak ketinggalan, balai-balai kecil beratapkan daun kelapa disetiap petak sawah. Balai-balai itu dihuni satu atau dua orang pengawas. Maksud saya penjaga sawah. Jika ada burung pemakan biji mampir atau sekedar melintas, pengawas itu akan membunyikan serine yang terbuat dari kumpulan kaleng bekas. Kadang belum puas dengan bunyi serine, pengawas biasanya berteriak, "hus...hus...hus...". Burung pemakan biji akan mengerti dengan tanda itu dan segera terbang menjauh tapi untuk kembali kala pengawas itu lengah.

Aku juga bisa bayangkan betapa ramainya desaku di sore hari saat musim berganti menjadi kering. Sawah-sawah pada musim sebelumnya memancarkan hijaunya, selanjutnya hanya hamparan tanah berwarna coklat kehitam-hitaman. Namun tidak membuat para pemuda, remaja, dan anak-anak kehilangan gembiranya. Di setiap petaknya, pasti ada kelompok permainan yang disesuaikan dengan umur. Saat umurku remaja, kira-kira duabelas-limabelas tahunan, aku sering bermain bola dengan seusiaku. Sawah kering disebelah rumah Dg.Se're disulap menjadi lapangan sepakbola mini. Tidak ada tiang gawang, garis lapangan atau bunyi sumpritan wasit. Semuanya berhak menjadi wasit. Pertengkaran antar pemain sering terjadi karena masing-masing merasa benar.

Sore menjelang magrib. Aku juga bisa bayangkan. Sumur disebelah rumah tetuaku menjadi sangat ramai oleh gadis-gadis dari desa seberang. Pada musim kemarau, sumur-sumur mereka menjadi asin. Ini karena lokasinya sangat dekat dengan daerah penggaraman. Tetuaku tidak menolak kehadiran mereka di sumur itu, hanya menyarankan jika softeks bekas pakainya di buang ditempat sampah. Beberapa diantara mereka terdapat ibu-ibu yang masih muda. Tangannya aktif menggerakkan sikat baju sambil membincangkan sesuatu. Banyak hal yang mereka bincangkan. Mulai dari perilaku anak mereka dan membandingkan anak-anak seusianya, sampai masakan kegemaran suami-suami mereka. Mereka selesai dari aktivitasnya di sumur itu setelah saya yakin bahwa airnya tinggal satu meter dari dasarnya.

Pagi di hari minggu. Suara ringkikan kuda mulai ramai di pinggir sungai. Tepatnya ditanah lapang sepanjang satu kilo meter. Saatnya perlombaan. Tapi ilegal. Tidak ada sambutan dari pejabat setempat karena hanya untuk mengisi minggu pagi. Berkumpul kuda-kuda berkekuatan ekstra yang dituntun para pemiliknya. Para joki biasanya di pilih dari seusiaku. Aku tidak berani menawarkan diri untuk itu karena takut jatuh dan patah tulang. Alasan yang lebih memberatkan adalah tetuaku melarang menjadi joki. "Cukuplah menonton tapi jangan terlalu mendekat. nanti diseruduk kuda yang hilang kendali", katanya. Padahal setiap joki yang menunggangi kuda pemenang akan mendapat persenan dari pemiliknya.

Kuda milik tetangga tetuaku sering menjadi pemenang. Namanya, Halilintar. Larinya sangat cepat. "Secepat kilat". Begitu orang-orang memujinya. Tapi entah kenapa minggu pagi ini ia tidak berada didepan. Beberapa kuda baru mendominasi setiap perlombaan. Kuda-kuda milik Tuan Nambung, pengusaha muda didesa itu. Baru saja dia mendatangkan kuda-kuda dari luar negeri. Tingginya menyusahkan Darwis menungganginya sehingga butuh bantuan kursi bersusun tiga untuk naik kepunggungnya. Kecepatan lari kuda-kuda impor itu membuat Halilintar tidak bernyali. Begitu juga dengan Dg.Rowa', yang mempunya Halilintar. Hanya tersenyum-senyum kecil saat Tuan Nambung tertawa besar dengan kemenangannya. "Wajar kudamu kalah karena makannya hanya rumput desa". Begitu Tuan Nambung memberi komentar kepada Dg.Rowa' yang masih tersenyum-senyum kalah.

KEMBALI BERFIKIR
Apakah desaku masih seperti yang saya bayangkan ? Masih adakah keasrian itu ? Lapangan bola ? Canda gadis desa seberang dan gosipan ibu-ibu muda di sumur ?. Atau pacuan kuda di pinggir sungai ?. Aku kembali berfikir sejak kunjungan terakhirku dua bulan lalu. Saat itu musim tanam. Sengaja aku datang pagi supaya warna hijau merata di semua petakan sawah menyambut dan dapat mengobati kerinduan akan keasrian sepuluh tahun lalu. Ada sedikit perubahan ketika nafas kerbau-kerbau berubah menjadi dengungan mesin traktor. Mondar-mandir dan menjungkirbalikkan tanah. Tidak ada lagi suara cambukan dan teriakan petani, "hah...ho...hah...ho...". Memaksa kerbau-kerbau yang berjalan berat di petakan sawah.

Aku melangkah menuju rumah tetuaku di jalan yang digenangi air setiap lubangnya. Lalu-lalang sepeda motor. "Ah....ojek". Desaku sudah mengenal ojek. Seingatku sepuluh tahun lalu, jalan ini ramai kendaraan dokar yang lalu-lalang. Mengantar dan menjemput ibu-ibu desa kepasar. Terkadang suara canda campur gosip ibu-ibu desa itu lebih besar dari suara sepatu kuda. Sekarang mereka sudah mengenal ojek. Alasannya, lebih praktis dan cepat. Bisa menghindari jalanan berlubang. Dokar tidak bisa menghindari dari lubang sehingga selalu tubuh dokar goyang dan penumpangnya terkantuk di tiang besi dokar. Sakit tapi sudah terbiasa.

"Piang, bangun nak. Sudah jam sembilan. Tidak baik tidur pagi"
Suara bijak Dg.Te'ne dari bawah tangga rumahnya. Piang, back jago kami di tim sepakbola sepuluh tahun lalu. pagi setinggi ini belum juga bangun. Sakit mungkin dan orangtuanya belum mengecek betul keadaannya.

"Armang, kau tidak dengar suruhan bapakmu. Ayo bangun".
Tiga rumah dari rumah Piang, suara Dg.Sitti mencoba membangunkan paksa Armang, Pemain pengganti yang penyabar di tim sepakbola sepuluh tahun lalu. "ah...Arman, kau sama saja Piang. Pagi setinggi ini masih juga diranjang". Komentarku dalam hati sambil terus berjalan. Sempat-sempat tersenyum mengingat tingkah konyol mereka sepuluh tahun lalu.

"Bangun. Apa setiap pagi harus di siram air ?"
Tidak jauh dari rumah Armang, Dg Nurung bersuara keras di sertai suara hempasan air. Aku mendengarnya dari jalan. Mengagetkan. "Ada apa dengan Rahing ?. Tidur pagi. Tapi kenapa harus setiap pagi ? Armang dan Piangkah juga ? Apa mereka sudah bekerja ?Malam tentu mereka bekerja. Tapi kenapa harus di paksa bangun paginya ? Bukankah pagi pengganti malam jika mereka bekerja ?" Aku terus bertanya dalam hati hingga tidak sadar aku sudah sampai di depan rumah tetuaku. Suasananya sepi.

Belum juga aku naik di tangga rumah. Istirahat sambil duduk sejenak di kaki tangga. Memandangi beberapa petak sawah.

TERMENUNG
Tampak kesuburannya tidak seimbang. Hijau bercampur keriput di tiap batang padi. "Kenapa tidak di beri pupuk ?". Mungkin petani tidak percaya lagi pada pupuk camat atau pupuk camat menjual diri terlalu mahal sehingga petani tidak sanggup menghargainya ?. Krisis. Yah...aku baru ingat, rentang waktu sepuluh tahun itu di isi dengan krisis moneter. Harga-harga jadi mahal. Pupuk camat pasti ikut mahal. Dan petani hanya bisa memandangi padinya tanpa gairah. Padi yang sudah kecanduan pupuk camat. Pupuk camat itu seperti putau. Akan terus dicari dan mati jika lama tidak mengalir diurat syaraf. "Ini bagian dari kelicikan camat". Aku berkata demikian karena camat membuat ketergantungan petani pada pupuknya. Seandainya camat memberi pengarahan para petani tentang cara membuat pupuk, maka tidak perlu lagi mengatur antrian para petani tiap tahunnya untuk membeli pupuk di kantor kecamatan.

TERPAKU
Lapangan sepakbola mini tinggal jejak. Kantor urusan keluarga berencana dibangun memanjang diatasnya. Kantor itu sepi. Hanya tampak ibu tua berkacamata tebal duduk dibelakang meja. Dengan lincah jemarinya memilih huruf di mesin ketik kuno. Sekali-sekali dia membuka laci meja. Menutup. Kemudian melanjutkan ketikannya. Mulutnya komat-kamit seperti mengingat-ingat sesuatu. Sibuk dia seorang diri. Tidak lama berselang. Sebuah mobil plat merah masuk ke pekarangan kantor. Seorang ibu yang masih lebih muda dari ibu dibelakang mesin ketik turun dari mobil. Kacamata hitam besar menyangkut pas di hidungnya yang sedikit mancung. Tidak ada make-up. Kulitnya putih mulus yang mempercantik dirinya. Terburu-buru dia masuk kekantor. Ibu tua yang sedari tadi duduk di belakang mesin ketik, berdiri memberi hormat. Sejenak mereka berbincang. Ibu tua itu menunduk-nundukkan kepalanya dan duduk kembali setelah ibu berkacamata hitam itu masuk kedalam salah satu ruangan. Tidak lama dia didalam. Sekitar lima menit. Kembali ibu tua itu berdiri memberi hormat. Berbincang sejenak. Menunduk-nundukkan kepalanya kemudian ibu berkacamata hitam itu menuju mobil. Pergi. Lama betul aku memandangi kantor itu sambil mencari sebab untuk apa kantor itu didirikan. "Untuk memperkcil jumlah generasi desa ?", curigaku dalam hati.

TERKEJUT
Tempat kelompok pemuda bermain voli dan tempat anak-anak bermain kasti sepuluh tahun lalu. Terkapling bersama dengan dua petak sawah lainnya. Dikelilingi pagar kawat setinggi empat meter. Enam ekor kuda pacuan didalamnya memakan rumput yang tersedia di box-box penyimpanan makanan. Tidak ada rumput yang tumbuh didalam tanah kaplingan itu. Semuanya sudah tersaji di dalam box. Lelaki separuh baya berdandan rapi dan bersih mengamati kuda-kuda itu dari luar pagar. “Tuan Nambung”. Aku merupa lama. Lelaki yang penggemar kuda impor itu semakin memperkuat posisinya sebagai jawara pemilik kuda tercepat. Tidak beberapa jauh darinya, dua orang pemuda tergopoh-gopoh mengangkat rumput dari mobil box kedalam tanah kapling itu. Tuan nambung mengamatinya sangat teliti. Sekali-sekali menunjuk box-box makanan yang belum terisi rumput. Itu model instruksinya. Dengan suara mirip ringkikan kuda impor itu.

TERSENTAK
Kaget. Sosok tua muncul dari balik pintu. “Kenapa duduk disitu, ayo naik?”. Suaranya sudah hampir tenggelam oleh usia. Kakinya memilih dasar rumah yang masih kuat menerima beban manusia meskipun seringan tubuh tetuaku.
“Lama kau tidak ke desa. Teman-temanmu setiap saat menanyakan kapan kau datang lagi”.
“Iya mak, saya juga rindu sama mereka”
“Sudah banyak yang merantau. Hanya Sudding yang ke kota. Menjadi buruh bangunan. Sebagian keluar pulau. Banyak pabrik yang menawarkan jasa pada mereka”
“Syukurlah. Yang masih tinggal, kerjanya apa ?”
“Tidak jelas. Malam dijadikan siang dan siang dijadikan malam. Orang tua mereka menjadi susah”
Seketika teringat Piang, Armang dan Rahing. “Dalam kategorikah mereka?” Aku lama terdiam setelah tanyaku dalam hati perihal tiga teman lamaku.
“Hidup di desa kini susah nak. Banyak sawah tidak memberi harapan. Karena itu orang-orang desa ingin menjual sawahnya. Sebagian dari mereka ingin membangun pabrik dan pasar kecil (baca; mini market). Ada juga yang membiarkannya seperti lahan tak bertuan. Pemiliknya ke kota”
“Apa pupuknya terlalu mahal mak?”
“Tidak hanya itu, usia pemiliknya tidak lagi sanggup untuk bekerja di sawah. Sementara anak-anaknya tidak punya minat kelumpur sawah. Mereka mengejar sekolah pada pagi hari dan pulang pada petangnya”
Wanita tua itu menghela nafas panjang. Pandangannya jauh menerawang ke sebelah selatan. Kemudian melanjutkan kisahnya.
“Hari minggu besok, tidak kau dapatkan lagi pacuan kuda. Tanah lapang sudah dihanyutkan air bah setiap musim hujan datang. Airnya menakutkan. Tidak ada lagi yang berani bermain disana. Saat kemarau, sungai jadi sebaliknya. Kering”
“Berarti sumur mak makin ramai orang-orang dari seberang desa?”
“Mereka sudah mengenal air ledeng. Sudah lama terpasang disetiap rumah mereka pipa ledeng. Ada juga yang kongsi. Satu aliran, dua jalur. Mak sendiri masih pakai air sumur. Itu peninggalan tetua lakimu. Dia menggalinya beramai-ramai dengan para tetangga. Jauh sebelum kau lahir” Tetuaku mengenangnya sedih bercampur bangga.
Kerinduanku tidak terpenuhi. Tetuaku terus mengisahkan apa yang telah berubah di desaku.
“Karyamin sudah menikah lagi……………”
“Dg.Rowa meninggal sehari setelah kudanya meninggal……………”
“Lurah masuk penjara…………….”
“Darwis……………..”
“Camat…………………….”
“P………………….”
“…………………………….”
“…..”
“Allahu Akbar Allahu Akbar” Suara Azan Dzuhur terdengar berserak dan melemas. Aku segera ke sumur. Berwudhu.
***
Kini aku berpikir untuk kembali ke desa. Bukan untuk tidak kembali, tetapi apa yang bisa aku lakukan disana. Sadar akan masa lalu tidak akan kembali dan tidak bisa menghindari perubahan. Perubahan ? itu juga yang harus dipikirkan. Memikirkannya berarti membuat cerita baru. Dan aku yakin lebih membosankan lagi berbicara tentang perubahan dan anda akan pergi menjauh.

Makassar, 27 Maret 2007