Aku ingin bercerita dan mungkin anda akan bosan mendengarkannya. Aku tidak tahu apakah ini nyata atau hanya fiktif belaka. Duduklah sebentar saja dan lepaskan pikiran anda bahwa aku hanya seorang penghayal.
INGIN KEMBALI KE DESA
Anda bisa bayangkan sendiri. Petakan-petakan sawah di pagi hari. Padi-padi yang masih remaja memancarkan warnanya. Membangkitkan kegairahan untuk beraktivitas pagi. Sore harinya, angin yang menyelinap dari bebukitan kecil menyentuh di setiap pucuknya dan menuntunnya untuk menari seiring suara seruling gembala kecil di pundak kerbaunya. Suara desah air antara halus dan deras di kaki sungai. Sekali-sekali menggelombang kecil menandakan ada yang memainkan jernihnya. Sekelompok anak yang belum belasan tahun, meloncat dari ketinggian tiga meter. Mendarat sempurna di permukaan air. Sorak-sorai kegembiraan mereka. Semuanya lelaki. Telanjang dan setengah telanjang. Tidak ada anak perempuan yang berani mendekat. Dari beberapa meterlah bisa ditemukan beberapa anak perempuan bermain ditepinya. Mengumpulkan batu-batuan kecil nan cantik. Atau permainan peran dan masak-memasak.
Aku sendiri bisa bayangkan. Keasrian desaku kala musim padi. Hijaunya selalu menanti di pagi hari. Meski pakaian-pakaian kumuh para petani. Lalu-lalang. Membawa cangkul atau sabit. Warnanya tetap mendominasi. Memberikan arti kesuburan dan kesejahteraan selalu. Di beberapa petak sawah, padinya tampak mulai dewasa. Ketekunan penggarapnya selalu memanjakannya dengan pupuk jualan camat desa. Itu Pasti. Meski harga pupuknya sedikit mengimbangi harga sekolah lanjutan pertama anak-anak desa, tapi para petani tetap saja berusaha menjangkaunya.
Tidak ketinggalan, balai-balai kecil beratapkan daun kelapa disetiap petak sawah. Balai-balai itu dihuni satu atau dua orang pengawas. Maksud saya penjaga sawah. Jika ada burung pemakan biji mampir atau sekedar melintas, pengawas itu akan membunyikan serine yang terbuat dari kumpulan kaleng bekas. Kadang belum puas dengan bunyi serine, pengawas biasanya berteriak, "hus...hus...hus...". Burung pemakan biji akan mengerti dengan tanda itu dan segera terbang menjauh tapi untuk kembali kala pengawas itu lengah.
Aku juga bisa bayangkan betapa ramainya desaku di sore hari saat musim berganti menjadi kering. Sawah-sawah pada musim sebelumnya memancarkan hijaunya, selanjutnya hanya hamparan tanah berwarna coklat kehitam-hitaman. Namun tidak membuat para pemuda, remaja, dan anak-anak kehilangan gembiranya. Di setiap petaknya, pasti ada kelompok permainan yang disesuaikan dengan umur. Saat umurku remaja, kira-kira duabelas-limabelas tahunan, aku sering bermain bola dengan seusiaku. Sawah kering disebelah rumah Dg.Se're disulap menjadi lapangan sepakbola mini. Tidak ada tiang gawang, garis lapangan atau bunyi sumpritan wasit. Semuanya berhak menjadi wasit. Pertengkaran antar pemain sering terjadi karena masing-masing merasa benar.
Sore menjelang magrib. Aku juga bisa bayangkan. Sumur disebelah rumah tetuaku menjadi sangat ramai oleh gadis-gadis dari desa seberang. Pada musim kemarau, sumur-sumur mereka menjadi asin. Ini karena lokasinya sangat dekat dengan daerah penggaraman. Tetuaku tidak menolak kehadiran mereka di sumur itu, hanya menyarankan jika softeks bekas pakainya di buang ditempat sampah. Beberapa diantara mereka terdapat ibu-ibu yang masih muda. Tangannya aktif menggerakkan sikat baju sambil membincangkan sesuatu. Banyak hal yang mereka bincangkan. Mulai dari perilaku anak mereka dan membandingkan anak-anak seusianya, sampai masakan kegemaran suami-suami mereka. Mereka selesai dari aktivitasnya di sumur itu setelah saya yakin bahwa airnya tinggal satu meter dari dasarnya.
Pagi di hari minggu. Suara ringkikan kuda mulai ramai di pinggir sungai. Tepatnya ditanah lapang sepanjang satu kilo meter. Saatnya perlombaan. Tapi ilegal. Tidak ada sambutan dari pejabat setempat karena hanya untuk mengisi minggu pagi. Berkumpul kuda-kuda berkekuatan ekstra yang dituntun para pemiliknya. Para joki biasanya di pilih dari seusiaku. Aku tidak berani menawarkan diri untuk itu karena takut jatuh dan patah tulang. Alasan yang lebih memberatkan adalah tetuaku melarang menjadi joki. "Cukuplah menonton tapi jangan terlalu mendekat. nanti diseruduk kuda yang hilang kendali", katanya. Padahal setiap joki yang menunggangi kuda pemenang akan mendapat persenan dari pemiliknya.
Kuda milik tetangga tetuaku sering menjadi pemenang. Namanya, Halilintar. Larinya sangat cepat. "Secepat kilat". Begitu orang-orang memujinya. Tapi entah kenapa minggu pagi ini ia tidak berada didepan. Beberapa kuda baru mendominasi setiap perlombaan. Kuda-kuda milik Tuan Nambung, pengusaha muda didesa itu. Baru saja dia mendatangkan kuda-kuda dari luar negeri. Tingginya menyusahkan Darwis menungganginya sehingga butuh bantuan kursi bersusun tiga untuk naik kepunggungnya. Kecepatan lari kuda-kuda impor itu membuat Halilintar tidak bernyali. Begitu juga dengan Dg.Rowa', yang mempunya Halilintar. Hanya tersenyum-senyum kecil saat Tuan Nambung tertawa besar dengan kemenangannya. "Wajar kudamu kalah karena makannya hanya rumput desa". Begitu Tuan Nambung memberi komentar kepada Dg.Rowa' yang masih tersenyum-senyum kalah.
KEMBALI BERFIKIR
Apakah desaku masih seperti yang saya bayangkan ? Masih adakah keasrian itu ? Lapangan bola ? Canda gadis desa seberang dan gosipan ibu-ibu muda di sumur ?. Atau pacuan kuda di pinggir sungai ?. Aku kembali berfikir sejak kunjungan terakhirku dua bulan lalu. Saat itu musim tanam. Sengaja aku datang pagi supaya warna hijau merata di semua petakan sawah menyambut dan dapat mengobati kerinduan akan keasrian sepuluh tahun lalu. Ada sedikit perubahan ketika nafas kerbau-kerbau berubah menjadi dengungan mesin traktor. Mondar-mandir dan menjungkirbalikkan tanah. Tidak ada lagi suara cambukan dan teriakan petani, "hah...ho...hah...ho...". Memaksa kerbau-kerbau yang berjalan berat di petakan sawah.
Aku melangkah menuju rumah tetuaku di jalan yang digenangi air setiap lubangnya. Lalu-lalang sepeda motor. "Ah....ojek". Desaku sudah mengenal ojek. Seingatku sepuluh tahun lalu, jalan ini ramai kendaraan dokar yang lalu-lalang. Mengantar dan menjemput ibu-ibu desa kepasar. Terkadang suara canda campur gosip ibu-ibu desa itu lebih besar dari suara sepatu kuda. Sekarang mereka sudah mengenal ojek. Alasannya, lebih praktis dan cepat. Bisa menghindari jalanan berlubang. Dokar tidak bisa menghindari dari lubang sehingga selalu tubuh dokar goyang dan penumpangnya terkantuk di tiang besi dokar. Sakit tapi sudah terbiasa.
"Piang, bangun nak. Sudah jam sembilan. Tidak baik tidur pagi"
Suara bijak Dg.Te'ne dari bawah tangga rumahnya. Piang, back jago kami di tim sepakbola sepuluh tahun lalu. pagi setinggi ini belum juga bangun. Sakit mungkin dan orangtuanya belum mengecek betul keadaannya.
"Armang, kau tidak dengar suruhan bapakmu. Ayo bangun".
Tiga rumah dari rumah Piang, suara Dg.Sitti mencoba membangunkan paksa Armang, Pemain pengganti yang penyabar di tim sepakbola sepuluh tahun lalu. "ah...Arman, kau sama saja Piang. Pagi setinggi ini masih juga diranjang". Komentarku dalam hati sambil terus berjalan. Sempat-sempat tersenyum mengingat tingkah konyol mereka sepuluh tahun lalu.
"Bangun. Apa setiap pagi harus di siram air ?"
Tidak jauh dari rumah Armang, Dg Nurung bersuara keras di sertai suara hempasan air. Aku mendengarnya dari jalan. Mengagetkan. "Ada apa dengan Rahing ?. Tidur pagi. Tapi kenapa harus setiap pagi ? Armang dan Piangkah juga ? Apa mereka sudah bekerja ?Malam tentu mereka bekerja. Tapi kenapa harus di paksa bangun paginya ? Bukankah pagi pengganti malam jika mereka bekerja ?" Aku terus bertanya dalam hati hingga tidak sadar aku sudah sampai di depan rumah tetuaku. Suasananya sepi.
Belum juga aku naik di tangga rumah. Istirahat sambil duduk sejenak di kaki tangga. Memandangi beberapa petak sawah.
TERMENUNG
Tampak kesuburannya tidak seimbang. Hijau bercampur keriput di tiap batang padi. "Kenapa tidak di beri pupuk ?". Mungkin petani tidak percaya lagi pada pupuk camat atau pupuk camat menjual diri terlalu mahal sehingga petani tidak sanggup menghargainya ?. Krisis. Yah...aku baru ingat, rentang waktu sepuluh tahun itu di isi dengan krisis moneter. Harga-harga jadi mahal. Pupuk camat pasti ikut mahal. Dan petani hanya bisa memandangi padinya tanpa gairah. Padi yang sudah kecanduan pupuk camat. Pupuk camat itu seperti putau. Akan terus dicari dan mati jika lama tidak mengalir diurat syaraf. "Ini bagian dari kelicikan camat". Aku berkata demikian karena camat membuat ketergantungan petani pada pupuknya. Seandainya camat memberi pengarahan para petani tentang cara membuat pupuk, maka tidak perlu lagi mengatur antrian para petani tiap tahunnya untuk membeli pupuk di kantor kecamatan.
TERPAKU
Lapangan sepakbola mini tinggal jejak. Kantor urusan keluarga berencana dibangun memanjang diatasnya. Kantor itu sepi. Hanya tampak ibu tua berkacamata tebal duduk dibelakang meja. Dengan lincah jemarinya memilih huruf di mesin ketik kuno. Sekali-sekali dia membuka laci meja. Menutup. Kemudian melanjutkan ketikannya. Mulutnya komat-kamit seperti mengingat-ingat sesuatu. Sibuk dia seorang diri. Tidak lama berselang. Sebuah mobil plat merah masuk ke pekarangan kantor. Seorang ibu yang masih lebih muda dari ibu dibelakang mesin ketik turun dari mobil. Kacamata hitam besar menyangkut pas di hidungnya yang sedikit mancung. Tidak ada make-up. Kulitnya putih mulus yang mempercantik dirinya. Terburu-buru dia masuk kekantor. Ibu tua yang sedari tadi duduk di belakang mesin ketik, berdiri memberi hormat. Sejenak mereka berbincang. Ibu tua itu menunduk-nundukkan kepalanya dan duduk kembali setelah ibu berkacamata hitam itu masuk kedalam salah satu ruangan. Tidak lama dia didalam. Sekitar lima menit. Kembali ibu tua itu berdiri memberi hormat. Berbincang sejenak. Menunduk-nundukkan kepalanya kemudian ibu berkacamata hitam itu menuju mobil. Pergi. Lama betul aku memandangi kantor itu sambil mencari sebab untuk apa kantor itu didirikan. "Untuk memperkcil jumlah generasi desa ?", curigaku dalam hati.
TERKEJUT
Tempat kelompok pemuda bermain voli dan tempat anak-anak bermain kasti sepuluh tahun lalu. Terkapling bersama dengan dua petak sawah lainnya. Dikelilingi pagar kawat setinggi empat meter. Enam ekor kuda pacuan didalamnya memakan rumput yang tersedia di box-box penyimpanan makanan. Tidak ada rumput yang tumbuh didalam tanah kaplingan itu. Semuanya sudah tersaji di dalam box. Lelaki separuh baya berdandan rapi dan bersih mengamati kuda-kuda itu dari luar pagar. “Tuan Nambung”. Aku merupa lama. Lelaki yang penggemar kuda impor itu semakin memperkuat posisinya sebagai jawara pemilik kuda tercepat. Tidak beberapa jauh darinya, dua orang pemuda tergopoh-gopoh mengangkat rumput dari mobil box kedalam tanah kapling itu. Tuan nambung mengamatinya sangat teliti. Sekali-sekali menunjuk box-box makanan yang belum terisi rumput. Itu model instruksinya. Dengan suara mirip ringkikan kuda impor itu.
TERSENTAK
Kaget. Sosok tua muncul dari balik pintu. “Kenapa duduk disitu, ayo naik?”. Suaranya sudah hampir tenggelam oleh usia. Kakinya memilih dasar rumah yang masih kuat menerima beban manusia meskipun seringan tubuh tetuaku.
“Lama kau tidak ke desa. Teman-temanmu setiap saat menanyakan kapan kau datang lagi”.
“Iya mak, saya juga rindu sama mereka”
“Sudah banyak yang merantau. Hanya Sudding yang ke kota. Menjadi buruh bangunan. Sebagian keluar pulau. Banyak pabrik yang menawarkan jasa pada mereka”
“Syukurlah. Yang masih tinggal, kerjanya apa ?”
“Tidak jelas. Malam dijadikan siang dan siang dijadikan malam. Orang tua mereka menjadi susah”
Seketika teringat Piang, Armang dan Rahing. “Dalam kategorikah mereka?” Aku lama terdiam setelah tanyaku dalam hati perihal tiga teman lamaku.
“Hidup di desa kini susah nak. Banyak sawah tidak memberi harapan. Karena itu orang-orang desa ingin menjual sawahnya. Sebagian dari mereka ingin membangun pabrik dan pasar kecil (baca; mini market). Ada juga yang membiarkannya seperti lahan tak bertuan. Pemiliknya ke kota”
“Apa pupuknya terlalu mahal mak?”
“Tidak hanya itu, usia pemiliknya tidak lagi sanggup untuk bekerja di sawah. Sementara anak-anaknya tidak punya minat kelumpur sawah. Mereka mengejar sekolah pada pagi hari dan pulang pada petangnya”
Wanita tua itu menghela nafas panjang. Pandangannya jauh menerawang ke sebelah selatan. Kemudian melanjutkan kisahnya.
“Hari minggu besok, tidak kau dapatkan lagi pacuan kuda. Tanah lapang sudah dihanyutkan air bah setiap musim hujan datang. Airnya menakutkan. Tidak ada lagi yang berani bermain disana. Saat kemarau, sungai jadi sebaliknya. Kering”
“Berarti sumur mak makin ramai orang-orang dari seberang desa?”
“Mereka sudah mengenal air ledeng. Sudah lama terpasang disetiap rumah mereka pipa ledeng. Ada juga yang kongsi. Satu aliran, dua jalur. Mak sendiri masih pakai air sumur. Itu peninggalan tetua lakimu. Dia menggalinya beramai-ramai dengan para tetangga. Jauh sebelum kau lahir” Tetuaku mengenangnya sedih bercampur bangga.
Kerinduanku tidak terpenuhi. Tetuaku terus mengisahkan apa yang telah berubah di desaku.
“Karyamin sudah menikah lagi……………”
“Dg.Rowa meninggal sehari setelah kudanya meninggal……………”
“Lurah masuk penjara…………….”
“Darwis……………..”
“Camat…………………….”
“P………………….”
“…………………………….”
“…..”
“Allahu Akbar Allahu Akbar” Suara Azan Dzuhur terdengar berserak dan melemas. Aku segera ke sumur. Berwudhu.
***
Kini aku berpikir untuk kembali ke desa. Bukan untuk tidak kembali, tetapi apa yang bisa aku lakukan disana. Sadar akan masa lalu tidak akan kembali dan tidak bisa menghindari perubahan. Perubahan ? itu juga yang harus dipikirkan. Memikirkannya berarti membuat cerita baru. Dan aku yakin lebih membosankan lagi berbicara tentang perubahan dan anda akan pergi menjauh.
Makassar, 27 Maret 2007
Mar 29, 2007
Mar 2, 2007
KEPAHLAWANAN
Untuk sepupuku "Ino" yang baru saja mendaftar menjadi tentara
Pagi ini begitu sibuk. Masyarakat kota berjalan di trotoar dengan tujuan pagi yang sangat membebankan. Rupa-rupa air muka mereka tampakkan. Tergantung seragam yang mereka kenakan. Dasi yang begitu ketat tergantung dileher menunjukkan peluang dan hambatan dari tiap ujung keningnya. Seragam sekolah menunjukkan kepasrahan masa remaja dalam kekakuan gerak dan berimajinasi. Pakaian kumuh dan lusuh menunjukkan kekalahan hidup dan kepasrahan pada nasib. Masih banyak lagi rupa yang berjalan di trotoar itu. Trotoar depan rumah Pak Darmadi. Penguasaha muda di kota itu. Sebulan lalu dia memecat Boby. Penjaga rumahnya siang dan malam. Alasan kemalingan dan Boby gagal menghalangi niat para maling itu.
Saat itu tepat jam 2:00 dini hari. Seorang yang berpotensi menjadi maling profesional masuk dengan memanjat tembok pagar setinggi dua meter. Boby dengan sigap melompat dan menerkamnya dengan kekuatan yang muncul dari tanggung jawabnya sebagai penjaga. Tapi dia tidak punya senjata. Dan akhirnya kalah hanya dengan satu kali tendangan keras dari maling itu tepat mengenai dadanya. Dia tertelungkup. Mengerang kesakitan dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain memandangi maling itu mengendap mendekati jendela rumah tanpa pengaman anti maling.
Paginya, begitu rasa sakit didadanya yang belum pulih betul, dia menjadi sasaran kemarahan majikannya. Terusir tanpa ada penjelasan darinya akan usaha yang mempertaruhkan nyawanya semalam. Hanya menunduk. Sesekali menoleh kemajikannya dan sekeliling halaman yang tak begitu luas. Dia berjalan menghampiri pagar dan pergi. Sekali lagi, dia terusir.
Pagi ini begitu sibuk. Berbagai merek dan model kendaraan lalu-lalang dijalan kota itu. Derunya begitu menenggelamkan pikiran-pikiran kreatif. Polusinya menyesakkan nafas. Bunyi klakson menandakan ketidaksabaran yang berlebihan dan kerakusan yang teramat sangat. Sesekali pengemudinya meneriaki dengan nuansa makian kepada pengemudi lainnya :
“we….telaso, jalanko cepat!”
Atau
“hati-hatiko ces, pakai weserko!”
Dan atau
“tolona anne……!”
Atau mungkin
“mako mati?”
Begitu ragam pagi ini kata-kata yang menunjukkan ketidaksabaran dari para pengemudi. Seragam makanan yang tersaji didepan hidung Betriks. Penjaga baru di rumah Pak Darmadi. Penjaga yang menggantikan tugas Boby siang dan malam. Baru dua minggu dia bertugas dan cukup meyakinkan Pak Darmadi dengan body yang lebih besar dan kekar dibandingkan Boby. Tentu akan menjadi pertimbangan bagi para maling untuk mencuri melihat body Betriks yang begitu besar kekar yang bisa menerkam tiga orang sekaligus meskipun belum teruji.
Pagi ini begitu sibuk. Tapi tidak begitu sibuk bagi Pak Darmadi. Dia masih bermalas-malasan di tempat tidur. Sebagai pimpinan Perusahaan Topaz, dia tidak terlalu mengikat dirinya dengan waktu kantorannya. Lelahnya semalam belum pulih. Semalaman dia mendapat undangan dari Pak Sutomo, Direktur Bank Kapor, di Club Kembang Peluk. Aneka macam dia nikmati di club itu hingga lelahnya begitu berat. Di pertengahan malam dia pulang kerumahnya dengan kepala yang sudah miring kekiri dan kekanan. Baju dan celana yang kusut tidak beraturan seperti prajurit perang yang baru saja duel one to one. Dia mebuka pagar dan dilihatnya Betriks tetap terjaga, berdiri kokoh bak hulk hogan. Pak Darmadi tersenyum puas :
“baguuus……, lanjutkan kerjamu!” sambil mengelus-elus pundak Betriks.
Pagi ini begitu sibuk. Ceceran darah yang begitu banyak didepan rumah Pak Darmadi. Tidak ada yang tahu apakah ceceran darah itu adalah milik manusia atau binatang. Orang-orang yang lewat didepan rumah Pak Darmadi tidak begitu mempersoalkan. Mereka berjalan dengan berbagai macam dipikirannya. Sekali lagi sesuai dengan seragam yang dikenakannya. Begitu juga dengan seisi rumah Pak Darmadi. Tidak ada yang mempertanyakan kenapa ada darah di depan rumahnya.
Ceceran darah itu kian lama kian meresap dan menyatu keras dengan aspal jalanan. Mengering oleh hembusan nafas knalpot kendaraan. Dipermukaannya penuh dengan debu jalanan. Terkadang terlindas ban kendaraan yang lalu lalang.
Pagi ini begitu sibuk. Beberapa pejalan kaki terlihat menutup hidup dan mulutnya setelah sesempat mungkin menengok ke selokan sedalam 2 meter di depan rumah Pak Darmadi. Meludah beberapa kali, entah karena jijik atau kebiasaan. Ada apa di dalam selokan itu?
Boby, yah… Boby yang terlentang penuh darah. Darahnya begitu banyak hingga menutupi seluruh bagian-bagian tubuhnya. Dia tidak bergerak sedikit pun. Mati. Sungguh mekanisme kematian yang sangat tragis. Didadanya terdapat 3 tusukan badik sehingga mengeluarkan darah yang begitu banyak. Mulutnya pun mengeluarkan darah. Tampaknya sebelum tusukan badik itu mendarat di dadanya, pukulan telak berkali-kali lebih dahulu mendarat didada dan mukanya.
Pagi ini begitu sibuk. Tidak ada yang tahu cerita dini hari tadi. Penyebab kematian Boby didepan rumah Pak Darmadi. Kepahlawanannya telah mencegah niat para maling untuk mencuri. Maling yang sama yang telah membuatnya terusir dan kehilangan kepercayaan dari Pak Darmadi.
Saat itu pukul 2:00 dini hari ketika maling yang sama sebulan lalu datang dengan kepercayaan diri yang begitu tinggi. Pengalaman sebulan yang lalu tidak membuatnya kuatir untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Dia tidak tahu kalau Boby sudah di pecat dari tugasnya sebagai penjaga. Kini dia harus berhadapan dengan penjaga yang berbadan lebih besar dan kekar dari Boby.
Saat itu pukul 2:00 dini hari ketika Boby menyempatkan diri melintas didepan rumah Pak Darmadi. Dia melihat maling yang sama sebulan lalu mengintai dibalik pagar Pak Darmadi. Dengan rasa tanggungjawab yang masih tersisah sebagai penjaga dan keinginan untuk berbuat di sisa hidupnya, dia berlari sekencang mungkin menghampiri maling itu. Melompat dan menerkam dengan sekuat tenaga. Terjadi perkelahian yang begitu seru :
“Biadab, mati kau” maling itu melancarkan tendangan bertubi-tubi kearah dada Boby. Boby terlempar dan tersandar di pagar. Tersungkur, meski merasakan sakit yang sangat hingga mengeluarkan darah di mulutnya, dia berusaha bangun dan kembali menerkam. Kembali terjadi perkelahian. Kali ini Boby berhasil menggigit tangan dan kakinya. Lukanya mengeluarkan darah yang banyak. Boby belum puas. Dia melompat dan berhasil mencakar muka maling itu. Maling itu mengerang kesakitan. Tapi dia mengeluarkan sebilah badik yang tersembunyi dari balik bajunya dan menusukkannya tepat di dada kiri Boby. Boby mengerang. Sakit tentu dan mengeluarkan darah. Mengalir begitu deras. Kembali dia tersungkur di jalan depan rumah Pak Darmadi. Didalam pikirannya hanyalah menang atau mati. Sebuah tekad yang begitu berani dalam hidup. Dengan tekadnya itu, dia kembali berdiri. Sempoyongan dan menerkam selanjutnya menggigit paha maling itu. Maling itu mengerang kesakitan. Juga mengeluarkan darah dan tersungkur. Kedua makhluk itu silih berganti menyerang hingga mereka bergulingan diatas aspal jalan yang sudah sepi. Begitu lama pergumulan itu hingga kemudia maling itu kembali meraih badiknya dan menusukkan sebanyak dua kali di dada Boby. Kini Boby benar-benar tidak bisa berkutik lagi. Darahnya semakin banyak. Kembali tersungkur dan tidak bisa bangun kembali. Matanya menatap tajam kearah maling itu seolah-olah dia ingin mengatakan “Akulah pemenang, karena kau tidak adil. Kau memakai badik. Sungguh manusia tidak pernah adil”. Itulah kata terakhir dari Boby sebelum dia gugur sebagai pahlawan. Maling itu berdiri tertatih dengan luka yang banyak di sekujur tubuhnya. Susah payah dia berdiri dan mengangkat tubuh Boby dan membuangnya ke selokan. Setelah itu, maling itu berdiri sejenak menatap lama rumah Pak Darmadi. Lalu berjalan, pergi. Dia mengurungkan niatnya malam itu untuk mencuri. Lukanya begitu banyak dan sekujur tubuhnya penuh dengan darah sehabis perkelahian sengit dengan Boby yang berakhir dengan kematian Boby.
Pagi ini begitu sibuk. Ternyata Betriks baru bangun dari tidurnya. Dia luput dari kejadian dini hari tadi. Kejadian yang hampir mengancam karirnya sebagai penjaga rumah Pak Darmadi. Bobylah yang telah menyelamatkan karir dan nyawanya dengan mengorbankan hidupnya.
Pagi ini benar-benar begitu sibuk hingga lupa memberi penghargaan terhadap Boby, sang pahlawan. Tubuhnya tetap terlentang di selokan. Bercampur kotoran dan sampah manusia. Tubuhnya penuh darah, dan mulutnya menganga seolah-olah dia ingin mengatakan :
“Dalam sejarah, yang aku temukan adalah kemengan tanpa penghargaan”
Pagi ini begitu sibuk. Boby hanyalah binatang sejenis Anjing. Tapi dia adalah pahlawan. Tuhan sangat memuja kepahlawanan. Dan aku begitu ingin menjadi seperti Boby. Seperti anjing penjaga. Tidak perlu berbagai macam seragam untuk menjaga negara ini. Tidak perlu senjata ataupun undang-undang yang begitu rumit. Cukup cakar dan gigi taring untuk menyerang musuh.
Makassar, Maret 2007
Pagi ini begitu sibuk. Masyarakat kota berjalan di trotoar dengan tujuan pagi yang sangat membebankan. Rupa-rupa air muka mereka tampakkan. Tergantung seragam yang mereka kenakan. Dasi yang begitu ketat tergantung dileher menunjukkan peluang dan hambatan dari tiap ujung keningnya. Seragam sekolah menunjukkan kepasrahan masa remaja dalam kekakuan gerak dan berimajinasi. Pakaian kumuh dan lusuh menunjukkan kekalahan hidup dan kepasrahan pada nasib. Masih banyak lagi rupa yang berjalan di trotoar itu. Trotoar depan rumah Pak Darmadi. Penguasaha muda di kota itu. Sebulan lalu dia memecat Boby. Penjaga rumahnya siang dan malam. Alasan kemalingan dan Boby gagal menghalangi niat para maling itu.
Saat itu tepat jam 2:00 dini hari. Seorang yang berpotensi menjadi maling profesional masuk dengan memanjat tembok pagar setinggi dua meter. Boby dengan sigap melompat dan menerkamnya dengan kekuatan yang muncul dari tanggung jawabnya sebagai penjaga. Tapi dia tidak punya senjata. Dan akhirnya kalah hanya dengan satu kali tendangan keras dari maling itu tepat mengenai dadanya. Dia tertelungkup. Mengerang kesakitan dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain memandangi maling itu mengendap mendekati jendela rumah tanpa pengaman anti maling.
Paginya, begitu rasa sakit didadanya yang belum pulih betul, dia menjadi sasaran kemarahan majikannya. Terusir tanpa ada penjelasan darinya akan usaha yang mempertaruhkan nyawanya semalam. Hanya menunduk. Sesekali menoleh kemajikannya dan sekeliling halaman yang tak begitu luas. Dia berjalan menghampiri pagar dan pergi. Sekali lagi, dia terusir.
Pagi ini begitu sibuk. Berbagai merek dan model kendaraan lalu-lalang dijalan kota itu. Derunya begitu menenggelamkan pikiran-pikiran kreatif. Polusinya menyesakkan nafas. Bunyi klakson menandakan ketidaksabaran yang berlebihan dan kerakusan yang teramat sangat. Sesekali pengemudinya meneriaki dengan nuansa makian kepada pengemudi lainnya :
“we….telaso, jalanko cepat!”
Atau
“hati-hatiko ces, pakai weserko!”
Dan atau
“tolona anne……!”
Atau mungkin
“mako mati?”
Begitu ragam pagi ini kata-kata yang menunjukkan ketidaksabaran dari para pengemudi. Seragam makanan yang tersaji didepan hidung Betriks. Penjaga baru di rumah Pak Darmadi. Penjaga yang menggantikan tugas Boby siang dan malam. Baru dua minggu dia bertugas dan cukup meyakinkan Pak Darmadi dengan body yang lebih besar dan kekar dibandingkan Boby. Tentu akan menjadi pertimbangan bagi para maling untuk mencuri melihat body Betriks yang begitu besar kekar yang bisa menerkam tiga orang sekaligus meskipun belum teruji.
Pagi ini begitu sibuk. Tapi tidak begitu sibuk bagi Pak Darmadi. Dia masih bermalas-malasan di tempat tidur. Sebagai pimpinan Perusahaan Topaz, dia tidak terlalu mengikat dirinya dengan waktu kantorannya. Lelahnya semalam belum pulih. Semalaman dia mendapat undangan dari Pak Sutomo, Direktur Bank Kapor, di Club Kembang Peluk. Aneka macam dia nikmati di club itu hingga lelahnya begitu berat. Di pertengahan malam dia pulang kerumahnya dengan kepala yang sudah miring kekiri dan kekanan. Baju dan celana yang kusut tidak beraturan seperti prajurit perang yang baru saja duel one to one. Dia mebuka pagar dan dilihatnya Betriks tetap terjaga, berdiri kokoh bak hulk hogan. Pak Darmadi tersenyum puas :
“baguuus……, lanjutkan kerjamu!” sambil mengelus-elus pundak Betriks.
Pagi ini begitu sibuk. Ceceran darah yang begitu banyak didepan rumah Pak Darmadi. Tidak ada yang tahu apakah ceceran darah itu adalah milik manusia atau binatang. Orang-orang yang lewat didepan rumah Pak Darmadi tidak begitu mempersoalkan. Mereka berjalan dengan berbagai macam dipikirannya. Sekali lagi sesuai dengan seragam yang dikenakannya. Begitu juga dengan seisi rumah Pak Darmadi. Tidak ada yang mempertanyakan kenapa ada darah di depan rumahnya.
Ceceran darah itu kian lama kian meresap dan menyatu keras dengan aspal jalanan. Mengering oleh hembusan nafas knalpot kendaraan. Dipermukaannya penuh dengan debu jalanan. Terkadang terlindas ban kendaraan yang lalu lalang.
Pagi ini begitu sibuk. Beberapa pejalan kaki terlihat menutup hidup dan mulutnya setelah sesempat mungkin menengok ke selokan sedalam 2 meter di depan rumah Pak Darmadi. Meludah beberapa kali, entah karena jijik atau kebiasaan. Ada apa di dalam selokan itu?
Boby, yah… Boby yang terlentang penuh darah. Darahnya begitu banyak hingga menutupi seluruh bagian-bagian tubuhnya. Dia tidak bergerak sedikit pun. Mati. Sungguh mekanisme kematian yang sangat tragis. Didadanya terdapat 3 tusukan badik sehingga mengeluarkan darah yang begitu banyak. Mulutnya pun mengeluarkan darah. Tampaknya sebelum tusukan badik itu mendarat di dadanya, pukulan telak berkali-kali lebih dahulu mendarat didada dan mukanya.
Pagi ini begitu sibuk. Tidak ada yang tahu cerita dini hari tadi. Penyebab kematian Boby didepan rumah Pak Darmadi. Kepahlawanannya telah mencegah niat para maling untuk mencuri. Maling yang sama yang telah membuatnya terusir dan kehilangan kepercayaan dari Pak Darmadi.
Saat itu pukul 2:00 dini hari ketika maling yang sama sebulan lalu datang dengan kepercayaan diri yang begitu tinggi. Pengalaman sebulan yang lalu tidak membuatnya kuatir untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Dia tidak tahu kalau Boby sudah di pecat dari tugasnya sebagai penjaga. Kini dia harus berhadapan dengan penjaga yang berbadan lebih besar dan kekar dari Boby.
Saat itu pukul 2:00 dini hari ketika Boby menyempatkan diri melintas didepan rumah Pak Darmadi. Dia melihat maling yang sama sebulan lalu mengintai dibalik pagar Pak Darmadi. Dengan rasa tanggungjawab yang masih tersisah sebagai penjaga dan keinginan untuk berbuat di sisa hidupnya, dia berlari sekencang mungkin menghampiri maling itu. Melompat dan menerkam dengan sekuat tenaga. Terjadi perkelahian yang begitu seru :
“Biadab, mati kau” maling itu melancarkan tendangan bertubi-tubi kearah dada Boby. Boby terlempar dan tersandar di pagar. Tersungkur, meski merasakan sakit yang sangat hingga mengeluarkan darah di mulutnya, dia berusaha bangun dan kembali menerkam. Kembali terjadi perkelahian. Kali ini Boby berhasil menggigit tangan dan kakinya. Lukanya mengeluarkan darah yang banyak. Boby belum puas. Dia melompat dan berhasil mencakar muka maling itu. Maling itu mengerang kesakitan. Tapi dia mengeluarkan sebilah badik yang tersembunyi dari balik bajunya dan menusukkannya tepat di dada kiri Boby. Boby mengerang. Sakit tentu dan mengeluarkan darah. Mengalir begitu deras. Kembali dia tersungkur di jalan depan rumah Pak Darmadi. Didalam pikirannya hanyalah menang atau mati. Sebuah tekad yang begitu berani dalam hidup. Dengan tekadnya itu, dia kembali berdiri. Sempoyongan dan menerkam selanjutnya menggigit paha maling itu. Maling itu mengerang kesakitan. Juga mengeluarkan darah dan tersungkur. Kedua makhluk itu silih berganti menyerang hingga mereka bergulingan diatas aspal jalan yang sudah sepi. Begitu lama pergumulan itu hingga kemudia maling itu kembali meraih badiknya dan menusukkan sebanyak dua kali di dada Boby. Kini Boby benar-benar tidak bisa berkutik lagi. Darahnya semakin banyak. Kembali tersungkur dan tidak bisa bangun kembali. Matanya menatap tajam kearah maling itu seolah-olah dia ingin mengatakan “Akulah pemenang, karena kau tidak adil. Kau memakai badik. Sungguh manusia tidak pernah adil”. Itulah kata terakhir dari Boby sebelum dia gugur sebagai pahlawan. Maling itu berdiri tertatih dengan luka yang banyak di sekujur tubuhnya. Susah payah dia berdiri dan mengangkat tubuh Boby dan membuangnya ke selokan. Setelah itu, maling itu berdiri sejenak menatap lama rumah Pak Darmadi. Lalu berjalan, pergi. Dia mengurungkan niatnya malam itu untuk mencuri. Lukanya begitu banyak dan sekujur tubuhnya penuh dengan darah sehabis perkelahian sengit dengan Boby yang berakhir dengan kematian Boby.
Pagi ini begitu sibuk. Ternyata Betriks baru bangun dari tidurnya. Dia luput dari kejadian dini hari tadi. Kejadian yang hampir mengancam karirnya sebagai penjaga rumah Pak Darmadi. Bobylah yang telah menyelamatkan karir dan nyawanya dengan mengorbankan hidupnya.
Pagi ini benar-benar begitu sibuk hingga lupa memberi penghargaan terhadap Boby, sang pahlawan. Tubuhnya tetap terlentang di selokan. Bercampur kotoran dan sampah manusia. Tubuhnya penuh darah, dan mulutnya menganga seolah-olah dia ingin mengatakan :
“Dalam sejarah, yang aku temukan adalah kemengan tanpa penghargaan”
Pagi ini begitu sibuk. Boby hanyalah binatang sejenis Anjing. Tapi dia adalah pahlawan. Tuhan sangat memuja kepahlawanan. Dan aku begitu ingin menjadi seperti Boby. Seperti anjing penjaga. Tidak perlu berbagai macam seragam untuk menjaga negara ini. Tidak perlu senjata ataupun undang-undang yang begitu rumit. Cukup cakar dan gigi taring untuk menyerang musuh.
Makassar, Maret 2007
MARLIN HANYA BERHARAP
Cerita Sebagai Pengungkap Data Diri Yang tak lengkap (sangaja mungkin)
1.Apa penting sebuah nama untuk perkenalan. Umumnya orang menganggapnya penting karena itu merupakan salah satu identitas untuk membedakan yang satu dengan yang lain. Tak jauh beda denganku, nama adalah penyampaian awal dari diri sebelum mengenal harapan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Dengan harapan hidup, nama terkadang diabaikan dan diri menjadi identik dari tokoh-tokoh besar dunia yang memiliki harapan hidup yang sama dengan diri kita.
Namaku Marlin. Sekali lagi ini adalah penyampaian awal dari diri. Setidaknya ini akan membuat anda merasa pasti ketika berpapasan di jalan. Atau membedakan zaman purbakala yang tanpa nama dengan sekarang.
Ataukah perlu saya lengkapi nama yang menjadi identitas formal untuk mendapatkan penghargaan akademik dan dunia kerja?. Sumarlin. Begitulah kira-kira ayahku sesumbar memberi nama tanpa berpikir panjang bahwa saya tidak begitu tertarik dengan nama itu. Alasannya, nama itu terlalu feminim bagiku. Saya adalah lelaki. Berharap memiliki nama yang menunjukkan keperkasaan seorang lelaki. Baso, Dullah, Madi, Pudding, atau Rahing.
Tapi, sudahlah. Sekali lagi nama hanya penyampaian awal dari diri. Tidak begitu penting untuk larut mempermasalahkannya. Saya hanya ingin mengajak anda ke desa kelahiranku. Disana kusimpan banyak harapan yang membuat saya lupa dengan namaku sendiri. Desa yang sudah begitu lama menjadi asing bagiku. Lamanya tidak begitu melekat diingatanku. Yang jelas saya meninggalkannya ketika air susu dari puting yang sudah usang mulai mengering sekering sumur tua karena isapan 5 orang saudaraku yang lebih dahulu menikmatinya. Bahkan ibuku mencari donor air susu dari beberapa tetangga yang masih menampung air susu hanya untuk menenangkanku dari tangis. Saya kecewa. Sungguh teramat kecewa dengan donor air susu itu karena setelah aku belajar jatuh hati pada perempuan, saya tersadar ternyata banyak perempuan yang saya kenal seusiaku pernah seputing ketika bayi dulu. Adat dan kepercayaan orang tuaku tentu melarang keras saya jatuh hati pada mereka. Tapi saya tidak sempat mengadukan kekecewaan ini kepada ibuku karena dia keburu meninggal dunia di usiaku yang ke-9 tahun. Ayahku enggan mencari penggantinya. Sungguh kesetiaan yang semoga kuwarisi.
2.Sekarang saya ingin mengajak anda ke desa kelahiranku yang saya terasing darinya hingga di usiaku yang ke-26 sekarang. Anggaplah kita berangkat dari Makassar dimana saya berdomisili sekarang. Lebih baik kita naik motor saja supaya anda lebih merasakan perjalanan kesana. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan dalam perjalanan kesana.
“Coba lihat mereka yang dipinggir jalan. Para pengemudi kendaraan becak itu!”
“Siapa mereka?”
“Mereka satu kampong saya”
“Kenapa kau menebak begitu?”
“Sudah menjadi identitas formal bahwa pengemudi becak di Makassar adalah sekampung saya”
“Apa kau merasa malu dan tersinggung dengan identitas itu”
“Tidak begitu terlalu. Saya hanya berharap mereka bisa lebih baik dari itu. Memiliki toko yang menampung segala kebutuhan manusia di kota ini atau mengencangkan dasinya saat turun dari mobil yang bermerek”.
Perjalanan ke desaku akan melewati dua kabupaten. Gowa dan Takalar. Dua kabupaten ini memiliki banyak keasrian yang membuat anda betah berlama-lama di sana. Tapi tidak di kabupaten dimana desa saya bertempat. Diperbatasan menuju kabupaten saya, anda akan merasakan suasana yang hambar, sehambar sayur yang lupa ditambah garam. Disana hanya diminati para tentara muda yang sedang berlatih bak bertempur di negeri timur tengah yang panasnya begitu membakar.
Kita berangkat tepat pukul 12 siang. Pilihan waktu yang membuat anda akan lebih mengenal kabupaten saya dari cerita-cerita kebanyakan orang. Seandainya masing-masing kita mengendarai motor, maka kita bisa memberi tumpangan anak sekolah dasar diperbatasan yang pulang dari tepat pukul 1.30. Kebanyakan mereka berdomisili di kabupaten saya tapi sekolahnya di Takalar. Jarak sekolah dengan rumah mereka sekitar 1 kilo meter. Jarak yang begitu melelahkan di usia mereka.
Pintu gerbang diperbatasan begitu sederhana. Hanya lambang kabupaten saya dengan kuda yang begitu tampak jantan sebagai simbolnya. “Selamat Datang di Kabupaten Jeneponto”. Begitulah kira-kira kalimatnya sebagai penjemput tamu. Saya tidak begitu memperhatikannya karena saya lebih sering focus memperbaiki posisi duduk saya diatas motor atau mobil yang saya tumpangi ketika sudah masuk di pintu gerbang itu. Saya harap anda pun begitu ketika mulai masuk di pintu gerbang itu karena anda akan merasakan seolah-olah anda berada di tengah laut yang sedang badai.
Angin meniup dengan kencangnya ditengah jalan bak ombak dilaut yang menenggelamkan kapal Tampomas II. Dan anda akan bertanya :
“Kenapa separah itu?”
Aku akan menjawab :
“Karena dana perbaikan jalan tidak pernah mengalir dengan sempurna”
“Kenapa tidak di advokasi?”
“Melawan berarti berhadapan dengan adat karena semua aparat pemerintahan berasal dari keturunan darah biru (karaeng)”
“Sebegitu besarkah pengaruh mereka”
“Iya, dan saya hanya berharap keturunan mereka ditenggelamkan oleh kesombongan mereka. Dan tak berarti lagi ketika anak-anakku mulai lahir dari rahim ibunya”
Sekarang musim kemarau. Musim yang membuat para pemuda disana ke kota. Ke kota bukan untuk menikmati hasil jerih payahnya di musim hujan. Tapi untuk mencari tunjangan hidup dan kembali saat musim sudah berganti.
Ditengah perjalanan yang tidak mengenakkan itu. Menolehkan kekiri dan kekanan. Sawah-sawah dan ladang-ladang begitu kering. Sehelai rumput menjadi rebutan tiga ekor binatang (kuda, kerbau dan kambing). Tidak ada pengairan. Entah apa dipikiran pemerintah setempat untuk tidak mengusahakan pengairan.
“Kabupaten kita dikelilingi oleh laut, tapi air laut enggan bersahabat dengan tanaman”. Saya hanya bisa diam jika itu alasannya. Saya hanya berharap suatu saat nanti generasi muda Jeneponto menguasai teknologi dan memberi solusi untuk para petani.
3.Kecamatan pertama yang akan kita lalui adalah Kecamatan Bangkala Barat. Tak begitu jauh dari perbatasan anda bisa singgah di deretan warung penjual coto kuda. Anda bisa menikmatinya racikan asli dari tangan yang begitu berpengalaman membuatnya. Tapi jangan heran beberapa pelayannya tampak berdandan menor. Artinya selain menyediakan masakan coto kuda, deretan warung itu juga menyediakan pelayanan istemewah ala kota Amsterdam (pelayanan seksual). Berbagai lapisan masyarakat sudah pernah berkunjung kesana. Mulai yang bertangan kasar sampai yang bertangan halus. Mulai dari yang memegang cangkul sampai yang berdasi. Dan bahkan ustads pun tidak mau kertinggalan untuk mencicipi.
“Kenapa pemerintah setempat tidak menutup warung-warung itu?”
“Mereka selalu berpikir panjang untuk menutup warung-warung itu karena mereka juga ikut nimbrung setelah makan coto kuda”.
“Apa ada yang pernah menuntut untuk penutupan warung-warung itu?”
“Ada, tapi saya hanya berharap semoga sipenuntut melihat masalah lebih jeli karena mereka ada hanya karena keterdesakan kebutuhan ekonomi”
4.Kecamatan kedua yang akan dilalui adalah Kecamatan Bangkala Timur. Disini desa saya bertempat. Tapi sebelum kita ke desaku. Kita akan singgah dan mengamati aktivitas kantor kecamatan. Sungguh sepi. Aktivitas orang-orang didalamnya tidur dan bermain kartu. Konon kepala camatnya pernah menjual seluruh RASKIN dipasar yang bukan haknya. Sementara banyak rakyatnya masih kekurangan persediaan makanan. Kita tidak usah berlama-lama disana karena akan membuat jantungmu berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang (Dewa !9).
Setelah melewati kantor kecamatan, kita akan sampai di kelurahan dimana desa saya bertempat. Kelurahan Allu. Kita akan singgah dipasar sejenak untuk melepaskan lelah perjalanan kita dan saya akan menceritakan pengalaman masa kecilku setiap ibuku mengajak pulang kampung di liburan catur wulan di pasar itu. Pagi hari saya sering menawarkan diri menjadi kenek angkutan dokar. Meski tanpa bayaran, tapi saya merasa senang naik dokar gratis. Terkadang kalau penumpangnya penuh dan saya tidak mendapatkan tempat duduk lagi. Sopir dokar menyuruhku bergelantungan. Saya tidak keberatan.
Disiang hari saya dan teman kecilku menyusuri kios-kios pasar yang sudah sepi dari aktivitas jual-beli. Berjalan sambil menunduk berharap ada recehan yang sempat terjatuh dari sarangnya. Kadang-kadang kami menemukan beberapa recehan tapi jika hari lagi sial, tak satu pun yang kami temukan.
Disamping pasar ada jalanan yang kurang menarik untuk di pandang. Jalanan itu menuju ke desaku. Namanya Sawitto. Baru 6 bulan yang lalu di percantik dengan aspal meleleh yang meyakinkan masayarakat desaku bahwa pemerintah sangat merespon aspirasi rakyatnya. Tapi 6 bulan berlalu dan musim hujan pun datang. Aspal itu kembali kebentuk semula. Tinggal lubang-lubang yang begitu besar dan serakan kerikil yang membuat hati luluh oleh luapan air. Saya hanya berharap agar pemerintah setempat tidak memainkan logika diatas perut.
“Apa tidak ada yang menuntut?”
“Sudah saya katakan, menuntut sama saja melawan adat”
“Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?”
“Saya hanya berharap, berharap dan berharap”
“Itu bukan penyelesaian”
“Saya tahu, tapi hanya itu yang saya miliki. Dengan harapan kita masih bisa melihat matahari terbit dari timur, meskipun sinarnya kelabu menerpa wajah kita”
selesai. Banyak yang ingin saya ceritakan tentang harapan-harapan. Tapi sudahlah......ini terlalu promosi. Saya tidak suka mempeomosikan diri.
Makassar, Februari 2007
1.Apa penting sebuah nama untuk perkenalan. Umumnya orang menganggapnya penting karena itu merupakan salah satu identitas untuk membedakan yang satu dengan yang lain. Tak jauh beda denganku, nama adalah penyampaian awal dari diri sebelum mengenal harapan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Dengan harapan hidup, nama terkadang diabaikan dan diri menjadi identik dari tokoh-tokoh besar dunia yang memiliki harapan hidup yang sama dengan diri kita.
Namaku Marlin. Sekali lagi ini adalah penyampaian awal dari diri. Setidaknya ini akan membuat anda merasa pasti ketika berpapasan di jalan. Atau membedakan zaman purbakala yang tanpa nama dengan sekarang.
Ataukah perlu saya lengkapi nama yang menjadi identitas formal untuk mendapatkan penghargaan akademik dan dunia kerja?. Sumarlin. Begitulah kira-kira ayahku sesumbar memberi nama tanpa berpikir panjang bahwa saya tidak begitu tertarik dengan nama itu. Alasannya, nama itu terlalu feminim bagiku. Saya adalah lelaki. Berharap memiliki nama yang menunjukkan keperkasaan seorang lelaki. Baso, Dullah, Madi, Pudding, atau Rahing.
Tapi, sudahlah. Sekali lagi nama hanya penyampaian awal dari diri. Tidak begitu penting untuk larut mempermasalahkannya. Saya hanya ingin mengajak anda ke desa kelahiranku. Disana kusimpan banyak harapan yang membuat saya lupa dengan namaku sendiri. Desa yang sudah begitu lama menjadi asing bagiku. Lamanya tidak begitu melekat diingatanku. Yang jelas saya meninggalkannya ketika air susu dari puting yang sudah usang mulai mengering sekering sumur tua karena isapan 5 orang saudaraku yang lebih dahulu menikmatinya. Bahkan ibuku mencari donor air susu dari beberapa tetangga yang masih menampung air susu hanya untuk menenangkanku dari tangis. Saya kecewa. Sungguh teramat kecewa dengan donor air susu itu karena setelah aku belajar jatuh hati pada perempuan, saya tersadar ternyata banyak perempuan yang saya kenal seusiaku pernah seputing ketika bayi dulu. Adat dan kepercayaan orang tuaku tentu melarang keras saya jatuh hati pada mereka. Tapi saya tidak sempat mengadukan kekecewaan ini kepada ibuku karena dia keburu meninggal dunia di usiaku yang ke-9 tahun. Ayahku enggan mencari penggantinya. Sungguh kesetiaan yang semoga kuwarisi.
2.Sekarang saya ingin mengajak anda ke desa kelahiranku yang saya terasing darinya hingga di usiaku yang ke-26 sekarang. Anggaplah kita berangkat dari Makassar dimana saya berdomisili sekarang. Lebih baik kita naik motor saja supaya anda lebih merasakan perjalanan kesana. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan dalam perjalanan kesana.
“Coba lihat mereka yang dipinggir jalan. Para pengemudi kendaraan becak itu!”
“Siapa mereka?”
“Mereka satu kampong saya”
“Kenapa kau menebak begitu?”
“Sudah menjadi identitas formal bahwa pengemudi becak di Makassar adalah sekampung saya”
“Apa kau merasa malu dan tersinggung dengan identitas itu”
“Tidak begitu terlalu. Saya hanya berharap mereka bisa lebih baik dari itu. Memiliki toko yang menampung segala kebutuhan manusia di kota ini atau mengencangkan dasinya saat turun dari mobil yang bermerek”.
Perjalanan ke desaku akan melewati dua kabupaten. Gowa dan Takalar. Dua kabupaten ini memiliki banyak keasrian yang membuat anda betah berlama-lama di sana. Tapi tidak di kabupaten dimana desa saya bertempat. Diperbatasan menuju kabupaten saya, anda akan merasakan suasana yang hambar, sehambar sayur yang lupa ditambah garam. Disana hanya diminati para tentara muda yang sedang berlatih bak bertempur di negeri timur tengah yang panasnya begitu membakar.
Kita berangkat tepat pukul 12 siang. Pilihan waktu yang membuat anda akan lebih mengenal kabupaten saya dari cerita-cerita kebanyakan orang. Seandainya masing-masing kita mengendarai motor, maka kita bisa memberi tumpangan anak sekolah dasar diperbatasan yang pulang dari tepat pukul 1.30. Kebanyakan mereka berdomisili di kabupaten saya tapi sekolahnya di Takalar. Jarak sekolah dengan rumah mereka sekitar 1 kilo meter. Jarak yang begitu melelahkan di usia mereka.
Pintu gerbang diperbatasan begitu sederhana. Hanya lambang kabupaten saya dengan kuda yang begitu tampak jantan sebagai simbolnya. “Selamat Datang di Kabupaten Jeneponto”. Begitulah kira-kira kalimatnya sebagai penjemput tamu. Saya tidak begitu memperhatikannya karena saya lebih sering focus memperbaiki posisi duduk saya diatas motor atau mobil yang saya tumpangi ketika sudah masuk di pintu gerbang itu. Saya harap anda pun begitu ketika mulai masuk di pintu gerbang itu karena anda akan merasakan seolah-olah anda berada di tengah laut yang sedang badai.
Angin meniup dengan kencangnya ditengah jalan bak ombak dilaut yang menenggelamkan kapal Tampomas II. Dan anda akan bertanya :
“Kenapa separah itu?”
Aku akan menjawab :
“Karena dana perbaikan jalan tidak pernah mengalir dengan sempurna”
“Kenapa tidak di advokasi?”
“Melawan berarti berhadapan dengan adat karena semua aparat pemerintahan berasal dari keturunan darah biru (karaeng)”
“Sebegitu besarkah pengaruh mereka”
“Iya, dan saya hanya berharap keturunan mereka ditenggelamkan oleh kesombongan mereka. Dan tak berarti lagi ketika anak-anakku mulai lahir dari rahim ibunya”
Sekarang musim kemarau. Musim yang membuat para pemuda disana ke kota. Ke kota bukan untuk menikmati hasil jerih payahnya di musim hujan. Tapi untuk mencari tunjangan hidup dan kembali saat musim sudah berganti.
Ditengah perjalanan yang tidak mengenakkan itu. Menolehkan kekiri dan kekanan. Sawah-sawah dan ladang-ladang begitu kering. Sehelai rumput menjadi rebutan tiga ekor binatang (kuda, kerbau dan kambing). Tidak ada pengairan. Entah apa dipikiran pemerintah setempat untuk tidak mengusahakan pengairan.
“Kabupaten kita dikelilingi oleh laut, tapi air laut enggan bersahabat dengan tanaman”. Saya hanya bisa diam jika itu alasannya. Saya hanya berharap suatu saat nanti generasi muda Jeneponto menguasai teknologi dan memberi solusi untuk para petani.
3.Kecamatan pertama yang akan kita lalui adalah Kecamatan Bangkala Barat. Tak begitu jauh dari perbatasan anda bisa singgah di deretan warung penjual coto kuda. Anda bisa menikmatinya racikan asli dari tangan yang begitu berpengalaman membuatnya. Tapi jangan heran beberapa pelayannya tampak berdandan menor. Artinya selain menyediakan masakan coto kuda, deretan warung itu juga menyediakan pelayanan istemewah ala kota Amsterdam (pelayanan seksual). Berbagai lapisan masyarakat sudah pernah berkunjung kesana. Mulai yang bertangan kasar sampai yang bertangan halus. Mulai dari yang memegang cangkul sampai yang berdasi. Dan bahkan ustads pun tidak mau kertinggalan untuk mencicipi.
“Kenapa pemerintah setempat tidak menutup warung-warung itu?”
“Mereka selalu berpikir panjang untuk menutup warung-warung itu karena mereka juga ikut nimbrung setelah makan coto kuda”.
“Apa ada yang pernah menuntut untuk penutupan warung-warung itu?”
“Ada, tapi saya hanya berharap semoga sipenuntut melihat masalah lebih jeli karena mereka ada hanya karena keterdesakan kebutuhan ekonomi”
4.Kecamatan kedua yang akan dilalui adalah Kecamatan Bangkala Timur. Disini desa saya bertempat. Tapi sebelum kita ke desaku. Kita akan singgah dan mengamati aktivitas kantor kecamatan. Sungguh sepi. Aktivitas orang-orang didalamnya tidur dan bermain kartu. Konon kepala camatnya pernah menjual seluruh RASKIN dipasar yang bukan haknya. Sementara banyak rakyatnya masih kekurangan persediaan makanan. Kita tidak usah berlama-lama disana karena akan membuat jantungmu berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang (Dewa !9).
Setelah melewati kantor kecamatan, kita akan sampai di kelurahan dimana desa saya bertempat. Kelurahan Allu. Kita akan singgah dipasar sejenak untuk melepaskan lelah perjalanan kita dan saya akan menceritakan pengalaman masa kecilku setiap ibuku mengajak pulang kampung di liburan catur wulan di pasar itu. Pagi hari saya sering menawarkan diri menjadi kenek angkutan dokar. Meski tanpa bayaran, tapi saya merasa senang naik dokar gratis. Terkadang kalau penumpangnya penuh dan saya tidak mendapatkan tempat duduk lagi. Sopir dokar menyuruhku bergelantungan. Saya tidak keberatan.
Disiang hari saya dan teman kecilku menyusuri kios-kios pasar yang sudah sepi dari aktivitas jual-beli. Berjalan sambil menunduk berharap ada recehan yang sempat terjatuh dari sarangnya. Kadang-kadang kami menemukan beberapa recehan tapi jika hari lagi sial, tak satu pun yang kami temukan.
Disamping pasar ada jalanan yang kurang menarik untuk di pandang. Jalanan itu menuju ke desaku. Namanya Sawitto. Baru 6 bulan yang lalu di percantik dengan aspal meleleh yang meyakinkan masayarakat desaku bahwa pemerintah sangat merespon aspirasi rakyatnya. Tapi 6 bulan berlalu dan musim hujan pun datang. Aspal itu kembali kebentuk semula. Tinggal lubang-lubang yang begitu besar dan serakan kerikil yang membuat hati luluh oleh luapan air. Saya hanya berharap agar pemerintah setempat tidak memainkan logika diatas perut.
“Apa tidak ada yang menuntut?”
“Sudah saya katakan, menuntut sama saja melawan adat”
“Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?”
“Saya hanya berharap, berharap dan berharap”
“Itu bukan penyelesaian”
“Saya tahu, tapi hanya itu yang saya miliki. Dengan harapan kita masih bisa melihat matahari terbit dari timur, meskipun sinarnya kelabu menerpa wajah kita”
selesai. Banyak yang ingin saya ceritakan tentang harapan-harapan. Tapi sudahlah......ini terlalu promosi. Saya tidak suka mempeomosikan diri.
Makassar, Februari 2007
Feb 13, 2007
VALENTINE NIGHT
Sayang.....
Bolehkah malam ini kita tidak ke Mall
Kita tidak ke Bioskop
Kita tidak ke Pantai
Kita Tidak ke Club Malam
Saya ingin menghabiskan malam ini
Denganmu.....
Membincang tentang MARX
LELAKI YANG MENUNGGU
"Masri tidak akan datang, dia sudah di perantauan"
Ibu muda itu terperanjat dari lamunannya setelah mendengar seruku. Dengan pandangan yang sedikit merupa wajahku. Keningnya berkerut. Tapi tak lama setelah itu dia tersenyum lebar.
"Agus kan !?"
"Iya betul. Aku mengenalimu begitu cepat setelah lima tahun Masri tidak pernah mengajakku bertemu denganmu di pantai ini"
"Aku sudah menikah"
"Aku sudah tahu. Alasan itu mengapa Masri tidak pernah lagi mengajakku bertemu denganmu"
"Anakku sudah dua"
"Itu juga sudah aku tahu. Sebab itu mengapa Masri mencari kebahagiaannya di perantauan"
"Masri sudah menikah ?"
"Dia sulit melupakannmu. Dua tahun dia menunggumu. Tapi kau sudah beranak dua kini. Apa kau bahagia?. Hatinya teriris pilu oleh pergimu. Di perantauan dia tetap sendiri"
Wanita itu sesekali menelan banyak ludahnya. Dia terdiam. Bola matanya gelisah seolah-olah nama Masri ingin dilupakannya. Tapi Masri kekasihnya dulu. Pernah mengikat janji bersamanya di pantai ini. Karena itu kabar Masri sangat ingin diketahuinya. Janji sangat sulit dilupakan meski sulit di buktikan. Aku adalah saksi janji itu. Ketika Masri menyodorkan kelingkinnya dan disambut kelingkin wanita itu. Bersamaan mereka berucap, "Tuhan, dengarkan debar hati kami. Kebahagiaan kami kini adalah lambang masa depan kami. Sumpah setia kami untuk hidup bersama". Mereka kemudian merayakannya. Berlarian kepinggir pantai dengan kelingkin yang masih saling mengait. Wanita itu terjatuh. Masri ikut terjatuh. Mereka bergulingan di pasir. Tertawa. Gembira. Aku ikut merasakannya.
"Kenapa dia tidak mencari wanita lain ?"
"Itu sudah aku usulkan. Tapi dia sangat menginginkanmu. Kau adalah tekad keputusannya"
Wanita itu kembali terdiam sembari memungut kerikil kecil di pasir. Begitu cermat dia memilih kerikil kecil kemudian melemparkannya ke setiap ombak kecil yang menyentuh ujung jari kakinya. Ketika Masri masih kekasihnya, wanita itu sering meminta Masri untuk mengumpulkan kerikil kecil. Masri kemudian berlari-lari kecil menjauh, tak lama dia datang dengan kantong celana dan bajunya penuh kerikil kecil. Wanita itu tersenyum bahagia melihat pengorbanan Masri pada wanita yang dicintainya.
"Tidak mungkin aku kembali dengannya. Aku bahagia kini. Andra mencintaiku dan mencantai anak-anaknya yang aku lahirkan" Andra nama suaminya. Kawan karib kami juga. Dia begitu hebat menyembunyikan perasaannya kepada wanita itu di depan Masri dan mencari celah untuk merebut simpati.
"Kau tidak bahagia!"
"Apa tahumu tentangku?"
"Wajahmu lesi. Rambutmu menjadi sepucat abu. Kegetiran hidup mengubah matamu menjadi tanpa gairah. Tinggal cekungan hitam yang hampir padam"
"Kau salah. Andra memberikan banyak kebahagiaan padaku"
"Kau berbohong. Kenapa kau sendiri dipantai ini?"
"Andra seorang pekerja keras. Hari ini begitu banyak kontraknya. Hasilnya untuk membahagiakan saya dan anak-anaknya. Hidup bersamanya jauh lebih bahagia daripada bersama Masri"
"Kenapa kau berkata seperti itu. Bukankah Masri sangat mencintaimu?"
"Kata cinta tidak cukup membahagiakanku. Masri pemalas. Dia tidak bekerja. Orangtuaku tidak menginginkannya. Saya tidak ingin mengecewakan orangtuaku oleh pilihanku"
Aku terdiam. Wanita itu diam. Masri memang tidak pernah mendapatkan kerja. Tapi bukan pemalas. Hanya pekerjaan yang selalu menghindarinya karena dia terlalu banyak tuntutan. Upah naik, jaminan keselamatan kerja, asuransi jiwa, dll. Terkadang pula dia mengorganisir karyawan lain untuk menuntut seperti apa yang dituntutnya. Satu kali dia bekerja di pabrik susu milik cina, tak lama dia disana karena dituduh memprovokasi karyawan lain untuk mogok kerja. Dia dikeluarkan tanpa uang pesangon. Satu kali lagi dia bekerja di pabrik batu bata milik haji, tak lama juga dia disana karena kasus yang sama.
"Apa dia masih seperti yang dulu ?" Wanita membuka pembicaraan dengan suara tenang seperti malam, tetapi sekaligus dalam laksana dasar sumur.
"Tidak ada yang dipikirkannya selain dirimu. Dia ingin bekerja untuk dirimu dan anak-anak yang kau lahirkan. Seperti halnya yang dilakukan Andra"
"Aku bimbang hidup dengannya. Kebimbangan dalam cinta adalah dosa. Karena itu aku memilih sesuatu yang pasti. Andra telah memberiku segalanya. Masri hanya memiliki harapan, tapi tak pasti. Aku bosan dengan ketidakpastian".
"Kau materialis ?"
"Wanita mana yang tidak ingin dimanja dengan materi ?"
"Aku tidak percaya jika itu ucapanmu. Andra telah membutakanmu tentang makna cinta. Darinya lidahmu menjadi tak berasa untuk cinta. Hanya rasa pedih yang tak terpikirkan yang telah melepas hunjamkan paku lidahmu, dan dia dapat menyembunyikan penderitaanmu yang sangat parah itu dengan materi. Harapan Masri sekarang sebisu rahasia dalam hatinya. Dia tidak banyak berbuat kecuali kau disampingnya. Di perantauan dia tetap sendiri dan tidak bekerja. Baginya bekerja sebagai bentuk tanggungjawab. Tapi untuk siapa dia bekerja ?. Kesendiriannya tidak memerlukan kerja kecuali kau disampingnya. Menemaninya dalam setiap letihnya. Merindukan senyummu untuk tak berlama-lama di tempat kerja. Menghangatkan tubuhnya dalam pelukanmu disaat matahari siang begitu panas di tempat kerja".
"Tapi aku tidak mungkin kembali kepadanya. Aku sudah terlanjur cinta pada Andra dan anak-anaknya yang aku lahirkan ".
"Aku tidak memaksamu. Begitupula Masri. Aku hanya ingin memberitakanmu tentang sahabatku yang cerita hidupnya sudah kalah diperantauan. Sebulan setelah keberangkatannya, malam begitu bibir dan lidahnya pedih kekeringan. Dia mengirim surat untukmu. Aku belum membacanya, meski lama aku simpan". Aku menyodorkan sepucut surat yang terlipat rapi. Wanita itu menyambut dengan tangan yang gemetar dan penuh ragu. Dia membukanya dengan perlahan dan membacanya dengan suara yang tersembunyi dibalik debar jantung yang sangat cepat.
Dear Nun,
Banyak yang telah aku pelajari darimu. Tentang makna cinta, tentang pengorbanan, dan yang lebih penting tentang wanitamu yang begitu merayu imaginasiku.
Nun, aku tidak begitu sedih dengan kepergianmu. Tapi aku juga tidak menyesali pertemuan kita. Engkau wanita yang berhak memilih yang terbaik untuk hidupmu dan anak-anakmu kini. Meski aku sangat ingin membuktikan kekuatan cintaku padamu. Tapi aku terlalu lama menyembunyikannya sehingga kau ragu untuk menerimanya.
Nun, sekarang saya diperantauan. Tapi tidak aku dapatkan senyum seindah yang kau miliki. Aku masih sendiri kini karena tidak aku temukan penggantimu yang bisa aku curahkan segenap rahasia cinta dan derita laraku.
Nun, yang kau tuntut dariku dulu masih belum aku dapatkan. Pekerjaan selalu tidak bersahabat denganku. Tapi sekarang aku sudah putuskan untuk tidak bekerja karena aku ingin bekerja untumu saja. Orang-orang disekelilingku mengataiku sampah masyarakat. Aku tidak tersinggung, karena itu adalah norma masyarakat yang berlaku kini.
Nun, setelah aku menulis surat ini, aku punya dua pilihan : Hidup tanpa cintamu atau mengakhiri hidup
Wanita itu tertegun setelah membaca surat Masri. Ditengadahkannya mata yang penuh tanya kearah sorga dan mencoba menahan lelehnya air mata. Matanya nanar, menembus pandang pada yang tak tampak. dan raut wajahnya berubah, seolah dia telah menangkap sekaligus pengertian dari Tuhan yang penuh rahasia. Dibenahinya dirinya yang terasa remuk-redam. Bibirnya sedikit ternganga. Mirip sebuah luka terbuka dalam kalbunya dan pedih menggema ke udara sekeliling. Bibirnya gemetar seolah ingin mengucapkan sebuah perkataan keramat. Hatinya menjadi pilu oleh kesedihan yang teramat sangat, tatapi akhirnya dapat membuka bibirnya dan berkata :
"Ba....bagaimana keadaannya sekarang ?" Akhirnya suara hisak itu terdengar. Tertahan sebentar di tenggorokan menunggui air mata mengalir dipipinya yang kini sudah menulang.
"Kemarin dia dikebumikan" Kilahku kemudian berdiri dan pergi.
Wanita itu tetap terduduk dipasir. Hisaknya semakin terdengar keras seiring langkahku menjauh darinya. Kedua tangannya mencakar pasir, kemudian menggenggamnya begitu erat. Aku tidak peduli dengan kondisinya saat itu. Terus saja aku melangkah. Menjauh hingga tak tampak oleh matanya.
Wanita itu sesekali menelan banyak ludahnya. Dia terdiam. Bola matanya gelisah seolah-olah nama Masri ingin dilupakannya. Tapi Masri kekasihnya dulu. Pernah mengikat janji bersamanya di pantai ini. Karena itu kabar Masri sangat ingin diketahuinya. Janji sangat sulit dilupakan meski sulit di buktikan. Aku adalah saksi janji itu. Ketika Masri menyodorkan kelingkinnya dan disambut kelingkin wanita itu. Bersamaan mereka berucap, "Tuhan, dengarkan debar hati kami. Kebahagiaan kami kini adalah lambang masa depan kami. Sumpah setia kami untuk hidup bersama". Mereka kemudian merayakannya. Berlarian kepinggir pantai dengan kelingkin yang masih saling mengait. Wanita itu terjatuh. Masri ikut terjatuh. Mereka bergulingan di pasir. Tertawa. Gembira. Aku ikut merasakannya.
"Kenapa dia tidak mencari wanita lain ?"
"Itu sudah aku usulkan. Tapi dia sangat menginginkanmu. Kau adalah tekad keputusannya"
Wanita itu kembali terdiam sembari memungut kerikil kecil di pasir. Begitu cermat dia memilih kerikil kecil kemudian melemparkannya ke setiap ombak kecil yang menyentuh ujung jari kakinya. Ketika Masri masih kekasihnya, wanita itu sering meminta Masri untuk mengumpulkan kerikil kecil. Masri kemudian berlari-lari kecil menjauh, tak lama dia datang dengan kantong celana dan bajunya penuh kerikil kecil. Wanita itu tersenyum bahagia melihat pengorbanan Masri pada wanita yang dicintainya.
"Tidak mungkin aku kembali dengannya. Aku bahagia kini. Andra mencintaiku dan mencantai anak-anaknya yang aku lahirkan" Andra nama suaminya. Kawan karib kami juga. Dia begitu hebat menyembunyikan perasaannya kepada wanita itu di depan Masri dan mencari celah untuk merebut simpati.
"Kau tidak bahagia!"
"Apa tahumu tentangku?"
"Wajahmu lesi. Rambutmu menjadi sepucat abu. Kegetiran hidup mengubah matamu menjadi tanpa gairah. Tinggal cekungan hitam yang hampir padam"
"Kau salah. Andra memberikan banyak kebahagiaan padaku"
"Kau berbohong. Kenapa kau sendiri dipantai ini?"
"Andra seorang pekerja keras. Hari ini begitu banyak kontraknya. Hasilnya untuk membahagiakan saya dan anak-anaknya. Hidup bersamanya jauh lebih bahagia daripada bersama Masri"
"Kenapa kau berkata seperti itu. Bukankah Masri sangat mencintaimu?"
"Kata cinta tidak cukup membahagiakanku. Masri pemalas. Dia tidak bekerja. Orangtuaku tidak menginginkannya. Saya tidak ingin mengecewakan orangtuaku oleh pilihanku"
Aku terdiam. Wanita itu diam. Masri memang tidak pernah mendapatkan kerja. Tapi bukan pemalas. Hanya pekerjaan yang selalu menghindarinya karena dia terlalu banyak tuntutan. Upah naik, jaminan keselamatan kerja, asuransi jiwa, dll. Terkadang pula dia mengorganisir karyawan lain untuk menuntut seperti apa yang dituntutnya. Satu kali dia bekerja di pabrik susu milik cina, tak lama dia disana karena dituduh memprovokasi karyawan lain untuk mogok kerja. Dia dikeluarkan tanpa uang pesangon. Satu kali lagi dia bekerja di pabrik batu bata milik haji, tak lama juga dia disana karena kasus yang sama.
"Apa dia masih seperti yang dulu ?" Wanita membuka pembicaraan dengan suara tenang seperti malam, tetapi sekaligus dalam laksana dasar sumur.
"Tidak ada yang dipikirkannya selain dirimu. Dia ingin bekerja untuk dirimu dan anak-anak yang kau lahirkan. Seperti halnya yang dilakukan Andra"
"Aku bimbang hidup dengannya. Kebimbangan dalam cinta adalah dosa. Karena itu aku memilih sesuatu yang pasti. Andra telah memberiku segalanya. Masri hanya memiliki harapan, tapi tak pasti. Aku bosan dengan ketidakpastian".
"Kau materialis ?"
"Wanita mana yang tidak ingin dimanja dengan materi ?"
"Aku tidak percaya jika itu ucapanmu. Andra telah membutakanmu tentang makna cinta. Darinya lidahmu menjadi tak berasa untuk cinta. Hanya rasa pedih yang tak terpikirkan yang telah melepas hunjamkan paku lidahmu, dan dia dapat menyembunyikan penderitaanmu yang sangat parah itu dengan materi. Harapan Masri sekarang sebisu rahasia dalam hatinya. Dia tidak banyak berbuat kecuali kau disampingnya. Di perantauan dia tetap sendiri dan tidak bekerja. Baginya bekerja sebagai bentuk tanggungjawab. Tapi untuk siapa dia bekerja ?. Kesendiriannya tidak memerlukan kerja kecuali kau disampingnya. Menemaninya dalam setiap letihnya. Merindukan senyummu untuk tak berlama-lama di tempat kerja. Menghangatkan tubuhnya dalam pelukanmu disaat matahari siang begitu panas di tempat kerja".
"Tapi aku tidak mungkin kembali kepadanya. Aku sudah terlanjur cinta pada Andra dan anak-anaknya yang aku lahirkan ".
"Aku tidak memaksamu. Begitupula Masri. Aku hanya ingin memberitakanmu tentang sahabatku yang cerita hidupnya sudah kalah diperantauan. Sebulan setelah keberangkatannya, malam begitu bibir dan lidahnya pedih kekeringan. Dia mengirim surat untukmu. Aku belum membacanya, meski lama aku simpan". Aku menyodorkan sepucut surat yang terlipat rapi. Wanita itu menyambut dengan tangan yang gemetar dan penuh ragu. Dia membukanya dengan perlahan dan membacanya dengan suara yang tersembunyi dibalik debar jantung yang sangat cepat.
Dear Nun,
Banyak yang telah aku pelajari darimu. Tentang makna cinta, tentang pengorbanan, dan yang lebih penting tentang wanitamu yang begitu merayu imaginasiku.
Nun, aku tidak begitu sedih dengan kepergianmu. Tapi aku juga tidak menyesali pertemuan kita. Engkau wanita yang berhak memilih yang terbaik untuk hidupmu dan anak-anakmu kini. Meski aku sangat ingin membuktikan kekuatan cintaku padamu. Tapi aku terlalu lama menyembunyikannya sehingga kau ragu untuk menerimanya.
Nun, sekarang saya diperantauan. Tapi tidak aku dapatkan senyum seindah yang kau miliki. Aku masih sendiri kini karena tidak aku temukan penggantimu yang bisa aku curahkan segenap rahasia cinta dan derita laraku.
Nun, yang kau tuntut dariku dulu masih belum aku dapatkan. Pekerjaan selalu tidak bersahabat denganku. Tapi sekarang aku sudah putuskan untuk tidak bekerja karena aku ingin bekerja untumu saja. Orang-orang disekelilingku mengataiku sampah masyarakat. Aku tidak tersinggung, karena itu adalah norma masyarakat yang berlaku kini.
Nun, setelah aku menulis surat ini, aku punya dua pilihan : Hidup tanpa cintamu atau mengakhiri hidup
Wanita itu tertegun setelah membaca surat Masri. Ditengadahkannya mata yang penuh tanya kearah sorga dan mencoba menahan lelehnya air mata. Matanya nanar, menembus pandang pada yang tak tampak. dan raut wajahnya berubah, seolah dia telah menangkap sekaligus pengertian dari Tuhan yang penuh rahasia. Dibenahinya dirinya yang terasa remuk-redam. Bibirnya sedikit ternganga. Mirip sebuah luka terbuka dalam kalbunya dan pedih menggema ke udara sekeliling. Bibirnya gemetar seolah ingin mengucapkan sebuah perkataan keramat. Hatinya menjadi pilu oleh kesedihan yang teramat sangat, tatapi akhirnya dapat membuka bibirnya dan berkata :
"Ba....bagaimana keadaannya sekarang ?" Akhirnya suara hisak itu terdengar. Tertahan sebentar di tenggorokan menunggui air mata mengalir dipipinya yang kini sudah menulang.
"Kemarin dia dikebumikan" Kilahku kemudian berdiri dan pergi.
Wanita itu tetap terduduk dipasir. Hisaknya semakin terdengar keras seiring langkahku menjauh darinya. Kedua tangannya mencakar pasir, kemudian menggenggamnya begitu erat. Aku tidak peduli dengan kondisinya saat itu. Terus saja aku melangkah. Menjauh hingga tak tampak oleh matanya.
Malam ini Asyu'ra
Feb 12, 2007
KONSPIRASI
(cerepen ini dititip kawan wali untuk semua)
Dilantai teratas gedung ini angin berhembus agak kencang membawa hawa dingin. Sejenak kulirik jam di ponselku dan kulihat jam telah menunjukkan pukul 24.00 dan itu telah tiba saatnya bagiku untuk melakukan rencanaku. Dimenit-menit terakhir akan aku laksanakannya rencanaku, pikiranku berjalan mundur kemasa silam hingga kemasa kanak-kanakku. Entah mengapa di menit-menit terakhir ini gambaran masa kanak-kanakku bahkan ingatanku akan kejadian-kejadian diusia balitaku tergambar dengan jelas.
Teringat olehku kehidupanku diusia balita. Tergambar dengan jelas, orang tuaku ketika itu hanya menjadikan aku sebagai penghibur. Walau agak sedikit berbeda dari badut atau binatang piaraan namun substansinya tetap sama. Aku dilarang menangis, mereka marah ketika aku menangis karena tangisku tak membuat mereka bahagia malah lengkikan polos tangisan seorang bayi membuat mereka pusing. Akhirnya aku paham bahwa tangisanku hanya membuat susah orang tuaku lalu kuyakini bahwa tangisan adalah sesuatu yang terlarang. Aku tak menangis lagi ketika mereka mencubitku karena rasa gemas mereka melihat seorang bayi yang seperti boneka dimata mereka. Itulah pelajaran pertama yang aku terima ketika masih balita. Belum selesai ingatanku akan masa balitaku tiba-tiba khalayanku berada pada masa ketika aku pertama kali menginjakkan kakiku ditempat yang diberi nama sekolah. Terbayang kejadian dirumah ketika pertama kali aku pulang sekolah. Ibu menanyakan tentang sesuatu yang sangat terkesan yang kulakukan disekolah pada hari pertama aku bersekolah. Lalu aku menceritakan pada ibuku tentang ibu guru yang marah padaku karena melaporkan bahwa aku telah diejek dan dipukul oleh kakak kelasku. Ibuku keheranan lalu bertanya kenapa ibu guru sampai marah. Akupun menceritakan kejadian selengkapnya bahwa setelah aku diejek lalu dipukul oleh kakak kelas aku lalu melaporkan hal tersebut pada ibu guru namun ibu guru marah dan berkata bahwa kau pasti berbohong sebab jika kau betul-betul telah diejek dan dipukul kau tentu akan melaporkannya sambil menangis. Ibu gurupun kemudian menasehatiku untuk tidak berbohong. Aku tetap ngotot dan akhirnya ibu guru memarahiku dan menyuruhku kembali kekelas karena jam istirahat telah usai. Ibuku lalu tertawa mendengar ceritaku dan diapun berkata “dasar anak-anak tidak tahu cara menyampaikan berita” tawanyapun semakin kencang dan diakhir tawanya dia menyuruhku untuk segera ganti baju dan pergi makan lalu tidur siang. Ketika itu aku heran dengan apa yang telah disampaikan ibu guru dan ibuku. Bukankah aku tidak boleh jujur jika itu membuat susah orang, seperti ajaran ketika aku bayi dulu dimana aku tidak boleh menangis padahal tangisanku adalah ungkapan kejujuran akan kondisiku karena saat itu aku belum mampu berbicara. akupun kemudian menerima kata-kata terakhir ibuku ketika itu lalu kuyakini sebagai sebuah kebenaran. Hari-hari selanjutnya aku tak pernah lagi mengatakan apa yang terjadi padaku karena aku takut aku salah dalam mengungkapkannya.
Khayalanku terus melaju dengan cepat melintasi setiap momen-momen dalam hidupku namun cuman khayalan-khalayan tertentu yang tergambar dengan jelas.
Khayalanku sampai pada saat ketika aku pertama kali senang pada lawan jenisku, aku duduk dikelas 3 SMP saat itu dan aku belum tahu apakah itu cinta atau sekedar rasa suka pada sesuatu yang berbeda. Sesuatu perasaan yang baru kurasa saat itu membuat beribu-ribu pertanyaan dalam otakku namun aku tak tahu harus bertanya dan mengungkapkannya pada siapa. Belum sempat aku mengungkapkannya pada seseorang, orang tuaku keburu tahu akan keadaanku. Katanya dia tahu dari perubahan tingkah lakuku dan merekapun sering menertawaiku dan secara tidak langsung mengejekku. Mereka sama sekali tidak memberikan penjelasan padaku tentang kondisi, yang mereka berikan justru tekanan batin. Aku lalu berpikir, apakah menyenangi sesuatu yang berbeda itu salah ? karena tak pernah menemukan jawabannya maka akhirnya akupun menerima semua itu. Lalu terbayang seluruh kejadian-kejadian selanjutnya akibat dari penerimaanku atas pernyataan bahwa menyenangi sesuatu yang berbeda itu adalah salah. Kejadian-kejadian terus melintas dalam pikiranku hingga pada kejadian ketika aku menjadi seorang mahasiswa. Pikiranku terus melesat hingga kemasa penyelesaian study-ku. Tergambar dengan jelas ketika orang tuaku yang katanya memotivasiku untuk sesegera menyelesaikan study-ku. Mereka sering berkata “segeralah selesaikan study-mu tak usah kau pikirkan dimana akan kerja jika telah selesai nanti, itu urusan nanti dan terserah pada kamu mau kerja dimana” pernyataan itu memang membuatku termotivasi namun di saat-saat terakhir aku menyelesaikan study, pertanyaan yang cenderung bersifat mengarahkan dan mendesak pun mulai muncul. Mereka mulai sering berkata “kita harus mulai mempersiapkan jalan agar kau dapat kerja di perusahaan tempat ayahmu bekerja”. Sebenarnya aku mulai marah ketika itu namun kepatuhan yang diajarkan padaku sedari kecil dan keharusan untuk membuat bahagia orang tuaku membuatku harus meredam rasa marahku. Ketika kyahalanku menggambarkan kondisi saat itu, jantungku tiba-tiba memompa darah dengan cepat keseluruh pembuluh-pemuluh darahku dan membuatku ingin marah, namun ketika terlintas gambaran dimasa-masa indah ketika kerja dikantor ayahku membuat kemarahanku menurun dan aliran darahkupun kembali normal. Teringat dengan jelas ketika itu aku telah mengikat janji dengan seorang wanita untuk bersama-sama menjalani kehidupan. Air mataku tiba-tiba menetes ketika gambaran hancurnya cita idealku akibat kehendak orang tuaku, tergambar dengan jelas. Mereka ingin aku menikah dengan seorang wanita pilihan mereka yang sama sekali jauh dari sosok ideal wanita dalam pikiranku. Khayalan ini membuatku sangat sedih. Khayalanku tiba-tiba loncat pada kejadian dimana aku mulai melanggar semua konsep-konsep yang aku yakini dan diajarkan padaku sedari kecil. Aku mulai malas masuk kantor yang membuat ayahku malu karena aku jauh berbeda dari dirinya, akupun telah menyukai segala yang berbeda. Jika orang tuaku menyukai sesuatu maka aku menyukai yang lain, jika ayahku senang pada sesuatu maka aku senang pada yang lain, jika ibuku bahagia akan sesuatu maka aku bahagia akan yang lain, yang jelas aku selalu mencoba menjadi yang lain dari mereka. Akupun mulai kembali menangis meski masih sembunyi-sembunyi.
Khayalanku akhirnya menggambarkan puncak dari semuanya dan penyebab keberadaanku disini saat ini. Khayalanku menggambarkan saat dimana aku mengungkapkan secara jujur segala kemuakanku pada orang tuaku yang berakhir dengan tangisanku yang polos seperti kepolosan tangisanku ketika aku bayi dulu. Setelah kejadian itu aku merasa bersalah karena telah membuat orang tuaku tak bahagia. Aku merasa telah melakukan dosa yang tak terampunkan, aku telah membuat aib bagi diriku dan keluargaku, aku telah membuat malu orang tuaku sebab punya seorang anak durhaka dan semua itu terjadi karena aku telah menjadi yang berbeda dari mereka. Karena didunia saat ini yang berbeda itu tak dapat diterima maka akulah akhirnya yang berada pada posisi salah.
Khayalanku tiba-tiba terhenti dan perlahan-lahan kusadari lagi keberadaanku dilantai teratas yang terbuka dari sebuah gedung. Aku lalu kembali mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenagaku untuk melaksanakan rencana terbesar dalam hidupku. Akhirnya kekuatan itupun muncul dan aku putuskan rencana terbesar dalam hidupku malam ini harus terlaksana. Aku harus mati malam ini ……………..……………………………………………………………………………………………………………..
……………..………………………………………………
Pagi-pagi sekitar pukul 06.30 orang-orang disekitar gedung kantor PT. TUAM LUTARKAS. Co gempar dan orang-orang berkumpul memperhatikan sebuah mayat yang ditemukan oleh seorang anak sekolah yang akan ke sekolah. Kepala mayat itu pecah sehingga wajahnya tak dapat dikenali, orang-orang menduga mayat tersebut jatuh dari lantai teratas gedung kantor.
Tepat ketika seorang polisi datang, ponsel mayat itu yang dislipkan dikantong celananya berbunyi. Polisi tersebut kemudian memberanikan diri mengambil dan memeriksa ponsel mayat itu. Ponsel itu rupanya menerima pesan singkat dari seseorang. Menurut polisi itu pesan singkatnya adalah “PULANGLAH ! AYAH DAN IBU AKAN MEMAAFKANMU ASALKAN KAU INGIN KEMBALI MENJADI SEORANG ANAK YANG PENURUT DAN SELALU MEMBAHAGIAKAN ORANG TUA”
Kehidupan hari ini tidak lebih dari sebuah peperangan. Peperangan yang harus dilakukan untuk bertahan hidup karena semua telah dirampas dari diri kita. Jangankan hak-hak yang menjadi syarat untuk interaksi sosial berjalan ideal semisal hak ekonomi, sosial, budaya dan politik, hak untuk bisa tetap bertahan hidup saja sangat susah untuk didapatkan. Setelah tanah yang menjadi simbol kehidupan bagi manusia dirampas, hak untuk mencari sesuap nasipun menjadi suatu hal yang sangat sulit. Perampasan tanah didesa untuk kepentingan segelintir orang-orang serakah dan penggusuran dikota dengan dalih keindahan menjadi suatu yang wajar dinegeri ini. Rakyat miskin yang kini menjadi mayoritas seakan tak layak hidup dinegeri ini.
Forum Kilo Empat
Disini kami menjadi karang
Enggan pecah oleh benturan kapak
Meskipun bentuk kami tak begitu menarik
Tapi kami memiliki cinta untuk sesama
Disini kami menjadi pedang
Tajam mengancam leher penguasa
Darahnya akan kami bagikan pada rakyat
Sebagai lambang kemenangan perang
Bersatulah kaum muda
Mengalir tanpa batas
Memecah kebuntuan zaman
Disini kami hadir untuk penguasa zalim
kami hadir untuk membebaskan rakyat tertindas
11 Februari 2007
Istriku Perempuan Syi'ah
Barangkali aku lupa
Dia adalah perempuan
Ingin mengajaknya bermain dadu politik
Memaksanya resahkan kehidupan
Kutunggangi dia dalam misiku
Barangkali aku lupa
Dia adalah Syiah
Meleburkan warnanya kedalam pelangi
Menciutkan nyali kesetiaannya pada Ahlul Bayt
Membiaskan pandangan dunianya
Barangkali aku lupa
Dan memang aku pelupa
Kalau begitu
Malam ini aku ingin melamarmu yang kedua kalinya
Merevisi kontrak nikah kita yang lalu
26 Januari 2007
Dia adalah perempuan
Ingin mengajaknya bermain dadu politik
Memaksanya resahkan kehidupan
Kutunggangi dia dalam misiku
Barangkali aku lupa
Dia adalah Syiah
Meleburkan warnanya kedalam pelangi
Menciutkan nyali kesetiaannya pada Ahlul Bayt
Membiaskan pandangan dunianya
Barangkali aku lupa
Dan memang aku pelupa
Kalau begitu
Malam ini aku ingin melamarmu yang kedua kalinya
Merevisi kontrak nikah kita yang lalu
26 Januari 2007
Jan 19, 2007
For all Friends in MPO
Tak teraba kawan yang terakuk oleh kebajikan pandangan
Tak terjelajah kata yang menyalami perasaan
Tak intim anggar lidah yang merangsang para futurolog
Daun-daun kepuh telah rontok oleh pluralisme malpraktek
Lupa keramat diri untuk diri
Lagak lagu seolah dalam aksi opera
Menyembunyikan paradoks senilai diri
kawan.......
Kita tinggal menunggu waktu untuk menjadi robot
Tak terjelajah kata yang menyalami perasaan
Tak intim anggar lidah yang merangsang para futurolog
Daun-daun kepuh telah rontok oleh pluralisme malpraktek
Lupa keramat diri untuk diri
Lagak lagu seolah dalam aksi opera
Menyembunyikan paradoks senilai diri
kawan.......
Kita tinggal menunggu waktu untuk menjadi robot
Jan 14, 2007
to the last
Aku seorang peluka. Mencoba membahagiakan dirku dengan itu. Pilihan yang sebenarnya tidak lepas sejarah, karena aku pernah terluka. Terluka dengan masa yang begitu lama. Lama sekali hingga pada kondisi yang sangat mengenaskan. Tersudut dan terinjak oleh ganasnya menapaki jalan yang terkasih.
Sekarang aku menjadi peluka. Sang peluka yang agung. Tapi itu tak seberapa dengan luka yang pernah aku alami. hingga darahnya begitu banyak.
Aku tahu kau kecewa karena aku menjadi peluka. Tapi jangan menangis karena aku menginginkan kau tetap terluka. Menangis akan membuat lukamu akan mengering. Sembuh.
.......kau perempuan, lama tentu lukamu akan kau bawa.....
Sekarang aku menjadi peluka. Sang peluka yang agung. Tapi itu tak seberapa dengan luka yang pernah aku alami. hingga darahnya begitu banyak.
Aku tahu kau kecewa karena aku menjadi peluka. Tapi jangan menangis karena aku menginginkan kau tetap terluka. Menangis akan membuat lukamu akan mengering. Sembuh.
.......kau perempuan, lama tentu lukamu akan kau bawa.....
Subscribe to:
Posts (Atom)